DINAMIKA KOMODIFIKASI PENDIDIKAN DAN PRAKTIK PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INDONESIA : REFLEKSI PEMIKIRAN PIERRE BOURDIEU
DINAMIKA KOMODIFIKASI PENDIDIKAN
DAN PRAKTIK PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INDONESIA : REFLEKSI PEMIKIRAN PIERRE
BOURDIEU
![]() |
Disusun
Oleh :
Nama :
Rahayu Wilujeng
NIM : 4815131270
Kelas :
Pendidikan Sosiologi A
Angkatan : 2013
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI JAKARTA
TAHUN
2015
DINAMIKA KOMODIFIKASI PENDIDIKAN DAN
PRAKTIK PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INDONESIA : REFLEKSI PEMIKIRAN PIERRE
BOURDIEU
Oleh : Rahayu Wilujeng
Analisis ini ingin menjelaskan bagaimana pendidikan
tidak hanya mencerminkan sejauh mana proses
transformasi sosial telah berjalan di sebuah negara,
melainkan juga menunjukkan baik buruk wajah penguasa. Di Indonesia, dunia
pendidikan mengalami ancaman yang sangat besar, yaitu dampak Liberalisasi
Perdagangan Global terhadap Komodifikasi Pendidikan. Pendidikan bukan lagi
menjadi alat untuk melakukan transformasi sosial. Namun didalamnya terdapat
pula berbagai kebijakan pendidikan yang sering hanya berujungpangkal pada uang,
kepentingan penguasa, pemenangan ideologi dan kepentingan kelompok di atas
kelompok yang lain.
LATAR BELAKANG
Pendidikan
merupakan salah satu bentuk proses investasi yang berharga dalam wujud
investasi dumber daya insani yang merupakan salah satu bentuk strategi budaya
tertua bagi manusia untuk mempertahankan eksistensinya. Kriteria keberhasilan
pendidikan sebagai institusi yang berupaya meningkatkan kualitas sumber daya
manusia terletak pada pihak-pihak yang terkait dalam praktik penyelenggaraan
pendidikan. Perkembangan suatu bangsa ditentukan pula oleh bagaimana sistem
pendidikannya, mengingat pendidikan berada digaris depan dalam perjuangan
menghadapi tantangan yang bersifat eksternal maupun internal. Selain itu pula,
pendidikan memiliki peran sentral sebagai basis fundamental pembangunan bangsa.
Dalam proses pendidikan, terdapat pula berbagai unsur didalamnya seperti
politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya, psikologis, sosiologis dan sebagainya.
Penanganan pendidikan dengan itu, perlu mempertimbangkan dimensi-dimensi
tersebut, agar strategi maupun kebijakan yang ditempuh benar-benar mengantarkan
pada pencapaian tujuan yang telah dijabarkan dalam UU NO.20 tahun 2003 yang
berbunyi:
"Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.[1]
Didalam sistem pendidikan,
terdapat berbagai komponen yang berperan aktif terhadap kesuksesan
pendidikan. Dengan begitu, penanganan pendidikan
perlu dikelola dengan baik dan berlandaskan kepada kepentingan masyarakat,
bukan hanya menguntungkan sebagian pihak saja. Namun realitanya, Pendidikan
yang pada dasarnya adalah sebuah hak bersama yang seharusnya disediakan dan
diselenggarakan oleh negara, telah dikomodifikasi menjadi suatu arena yang
berorientasi pada kepentingan penguasa, baik sebagai arena politik maupun
ekonomi. Komodifikasi dalam konteks ini merupakan bentuk transformasi dari
hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan,
menjadi hubungan yang sifatnya komersil. Konstitusi yang jelas-jelas
menitahkan agar negara “mencerdaskan kehidupan berbangsa” sering tidak diberi
makna yang adil dan memadai.
PEMBAHASAN
Komodifikasi pada pendidikan telah mengubah nilai pendidikan yang
sebenarnya adalah nilai guna menjadi nilai tukar. Dalam nilai tukar, pendidikan
berfungsi sebagai suatu proses untuk mendidik dan membimbing manusia menjadi
suatu komoditas yang diperjual-belikan sehingga dapat menciptakan nilai lebih
bagi pemilik kapital atau modal. Dalam dunia pendidikan, suatu bentuk
komodifikasi memang sudah tidak asing lagi didengar mulai dari kebijakan yang
dicanangkan pemerintah sampai pada praktik penyelenggaraan pendidikan terkecil
yakni didalam kelas, misalkan saja komersialisasi yang
dilakukan oleh penerbit, guru, kepala sekolah, ataupun birokrat di lingkungan
pendidikan seperti komersialisasi buku pelajaran, sampai dengan “uang pelicin” yang bertujuan untuk
memudahkan masuk ke lembaga pendidikan tertentu. Proses komodifikasi yang
digambarkan dalam studi ini tidak terlepas dari adanya unsur pertukararan dua
individu[2].
Bahkan secara sistemik, pendidikan itu sendiri justru dikomersialisasikan oleh
pemerintah baik secara politis maupun ekonomi yang dilakukan melalui pembuatan kebijakan
yang tidak jarang pula dijadikan proyek, seperti pengadaan sarana-prasarana
yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh lembaga pendidikan.
Fenomena
ini pun seakan menjadi produk internalisasi struktur nilai-nilai yang
berlangsung lama dan menjadi habitus dalam dunia pendidikan Indonesia yang
mengubah orientasi pendidikan yang lebih disibukkan kepada kepentingan
memperoleh ijazah, sertifikat, mengabdi pada para stakeholder dan bukan lagi
berorientasi pada pencapaian tujuan yang telah diamanatkan.
Dalam membahas
fenomena komodifikasi pendidikan ini, dapat dilihat melalui perpektif Pierre
Bourdieu seorang filsuf Perancis yang membahas tentang struktur-struktur dominasi ekonomi maupun dominasi simbolik
dari masyarakat, yang selalu menutupi ketidakadilan di dalamnya. Didalam
fenomena ini, sektor pendidikan dijadikan arena politik dan ekonomi, yang
didalamnya terdapat pula pemilik kapital atau modal sosial, modal ekonomi,
modal budaya dan modal simbolik yang menghasilkan produk internalisasi berupa
habitus dalam sistem pendidikan Indonesia. Dalam pengertian ini,
habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif[3].
Habitus
atau skema-skema kognitif agen atau warga dalam teori Bourdieu, merupakan
produk historis yang menciptakan tindakan individu dan kolektif [4]
.Menurut Bourdieu, seorang individu atau aktor adalah dipengaruhi oleh
strukturnya, tetapi juga individu tersebut bebas untuk bertindak sesuai dengan
keinginannya. Sehingga disini yang menentukan praktek atau tindakan individu
adalah ranah dimana ia berada dan habitus masing-masing individu.
Pendidikan Sebagai Arena Politik dan Ekonomi
Menurut Bourdieu, Ranah
atau Arena diartikan sebagai sesuatu yang dinamis, dimana ranah merupakan
kekuatan yang bersifat otonom dan didalamnya berlangsung perjuangan mendapatkan
kepentingan masing-masing. Perjuangan ini di pandang mentransformasikan atau
mempertahankan arena kekuatan. Arena merupakan ruang yang terstruktur dengan aturan
keberfungsiannya yang khas namun tidak secara kaku terpisah dari arena-arena
lainnya dalam sebuah dunia sosial. Dalam konsep arena ini mensyaratkan agen
yang menempati berbagai posisi yang tersedia dalam arena apapun, terlibat dalam
usaha perjuangan memperebutkan sumber daya atau modal yang diperlukan guna
memperoleh akses terhadap kekuasaan dan posisi dalam sebuah arena.
Pendidikan dan politik adalah dua eleman penting dalam sistem
sosial politik di setiap Negara. Dalam hubungan tersebut, maka kedua unsur
politik dan pendidikan mempunyai keterkaitan dalam setiap langkah yang
dilaksanakan. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan dalam dunia pendidikan
tidak dapat terlepas dari kebijakan-kebijakan politik yang diberlakukan oleh
para pelaku politik atau para petinggi pemerintahan yang tentunya mempunyai background
partai politik. Oleh penguasa, pendidikan sering dicampuradukan antara
kepentingan dengan kebijakan pendidikan, sehingga mengakibatkan ketidakjelasan
arah visi yang dituju. Pendidikan telah dijadikan alat penguasa dan bukan
sebagai sarana untuk kehidupan bernegara[5].
Lembaga pendidikan seingkali dijadikan lahan untuk menanamkan doktrin-doktrin negara
yang diinginkan/dikehendaki penguasa. Kepentingan untuk menguasai
peserta didik dengan cara mendidik melalui pengetahuan-pengetahuan yang
diinginkan oleh pemangku kepentingan. Jelas sudah, pendidikan
yang diselenggarakan hanya untuk melanggengkan pemangku
kepentingan. Tidak jarang pula pendidikan digunakan sebagai
wahana kampanye dan propaganda politik demi kesuksesan merebut kursi kekuasaan.
Dinas Pendidikan bahkan ke sekolah-sekolah, secara riil, menjadi tempat
kampanye untuk dijadikan sebagai “alat bantu” pemenangan.
Pendidikan diubah sebagai sebuah alat politik
yang menginginkan pelanggengan terhadap sistem yang sudah
ada, dengan kata lain pendidikan konsep ini adalah
sebuah upaya pembungkaman publik terhadap sebuah sistem. Dalam konteks sejarah
Indonesia dapat dilihat bagaimana penguasa memperlakukan Indonesia seperti pada
era Orde baru yang didominasi oleh pelajaran pendidikan moral pancasila dan
penataran P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) disini dapat
dilihat bagaimana penguasa menggiring pemahaman sesuai dengan kehendak penguasa
yang memaksa pembungkaman publik terhadap kepentingan politik (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme) dan membiaskan pemahaman masyarakat kepada sebuah sistem yang
fungsional, sehingga segala macam perintah yang diberikan
oleh pejabat pemerintahan harus ditaati oleh rakyat atas dasar rasa cinta
terhadap Pancasila itu sendiri. Untuk itu, terdapat beberapa kasus yang
menggambarkan usaha rezim Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan dengan
indoktrinisasi Pancasila, yaitu Adanya larangan masyarakat untuk memberikan
kritik terhadap pemerintah melalui berbagai media, terdapat pemberedelan
beberapa media massa yang dianggap oposisi dengan pemerintah, adanya
penyederhanaan partai politik yang hanya meliputi PPP,PDI, serta Golkar
Terdapat diskriminasi antar parpol dalam hal kampanye, sebab Golkar yang boleh
melakukan kampanye hingga tingkat desa, sementara parpol lain hanya dibolehkan
melalukan kampanye terbatas.
Motif kekuasaan para penguasa
dalam mengendalikan pendidikan diorientasikan pada pembentukan kekuatan,
jaringan, pencitraan, dan kemenangan politik yang ingin dijalankan yang
didalamnya pula terdapat motif kepentingan berupa keuntungan pribadi. Menurut
Muchlis Luddin, Depdiknas menjalankan program semaunya dan cenderung berorintasi
proyek, dengan demikian oleh elit politik sejumlah program pendidikan dijadikan
ajang kepentingan jangka pendek[6]. Jika membahas proyek maka sejatinya
pendidikan pun tidak dapat dipisahkan dari unsur ekonomi. Banyak proyek pendidikan yang tidak tepat sasaran dan justru
sumber korupsi pejabat birokrasi sektor pendidikan. Pendidikan
merupakan bisnis semua orang, dari lingkup makro yakni berupa penggelembungan
dana pendidikan sampai dengan proyek pengadaan sarana-prasarana pendukung
proses pendidikan yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh lembaga pendidikan.
Bukan hanya dalam lingkup makro, komodifikasi pendidikan sebagai arena ekonomi
pun terjadi pada lingkup praktik
penyelengaraan terkecil didalam ruang kelas, seperti komersialisasi buku
pelajaran oleh guru, penerbit bahkan dijadikan wadah pungli dengan embel-embel pendidikan gratis.
Stigma
pendidikan gratis mewarnai arus kebijakan pendidikan nasional. Pendidikan
gratis lebih didominasi pada kepentingan politik daripada implementasi di
tingkat mikro sekolah. Sampai saat ini, pendidikan gratis pada jenjang
pendidikan dasar berlangsung dalam kondisi memperihatinkan. Pendidikan
gratis identik dengan pendidikan murah dan kurang berkualitas.
Lahan Basah Sektor Pendidikan bagi
kepentingan Pemilik Kapital
Sektor Pendidikan sebagai arena, tentu didalamnya terdapat
aktor yang terlibat dan memiliki modal. Dalam hal ini Bourdieu
mengklasifikasikan Kapital atau modal tersebut dalam 3 bagian yakni modal ekonomi,
modal sosial, modal budaya dan modal simbolik. Lingkungan
adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur,
sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan[7].
Modal merupakan simbolik dari adanya ketimpangan dalam masyarakat. Dimana
masyarakat terstratifikasi dari kepemilikan modal. Atau modal juga dapat dimaknai sebagai sekumpulan sumber daya (baik
materi dan nonmateri) yang di miliki seseorang atau kelompok tertentu yang
digunakan untuk mencapai tujuan[8].
Setiap kapital dalam konsep Bourdieu adalah berkaitan, juga dapat mengalami
perubahan dan tidak bersifat tunggal.
Menurut
Bourdieu terdapat empat jenis modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, dan
modal kultural kemudian ditambah modal simbolik oleh S Turner:[9]
1) Modal
ekonomi: segala bentuk modal yang dimiliki yang berupa materi, misalnya uang,
emas, mobil, tanah, dan lain-lain.
2) Modal
sosial: terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antara individu, atau
hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumberdaya yang
berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial.
3) Modal
kultural: meliputi berbagai pengetahuan yang sah. Misalnya ijazah, cara
berbicara, cara bergaul, cara pembawaan diri (sopan santun).
4) Modal
simbolik: berasal dari kehormatan dan prestise seseorang, misalnya posisi atau
jabatan seseorang sebagai kepala pemerintahan.
Semakin banyak jumlah
dan jenis modal yang mereka miliki, maka ia akan mendapatkan posisi terbaik
dalam arena tersebut, atau menduduki posisi yang dominan dalam suatu arena. Dalam
kehidupan bermasyarakat, hubungan sosial yang dilakukan individu merupakan
salah satu upaya mempertahankan keberadaannya[10].
Dari sini dapat dilihat bagaimana hubungan sosial selalu ditandai dengan adanya
motif tertentu. Menurut Bourdieu, seorang individu atau aktor adalah
dipengaruhi oleh strukturnya, tetapi juga individu tersebut bebas untuk
bertindak sesuai dengan keinginannya. Sehingga disini yang menentukan praktek
atau tindakan individu adalah ranah dimana ia berada dan habitus masing-masing
individu.
Dari sini dapat dianalisis dalam sistem pendidikan
diIndonesia, dimana jelas bahwa sistem pendidikan digerakkan oleh aktor yang
didalamnya pula memiliki modal atau kapital. Modal ekonomi mempengaruhi
bagaimana seseorang dianggap dan dihargai. Kepuasan manusia sesungguhnya adalah
sesuatu yang tidak pernah hakiki. Ketika seseorang sudah menduduki kelas sosial
atas dan memiliki pengaruh untuk orang dibawahnya maka ia akan berusaha
mempertahankan kelas sosial bahkan mencari cara untuk terus menaiki kelas
sosial yang lebih tinggi. Dalam pengertian itu, berkembanglah sesuatu yang
disebut “pakta dominasi” antara kapitalis utama dengan para penguasa lainnya berdasarkan
kepentingan yang sama. Dengan demikian, negara dan kelas berjalan bersama-sama
melakukan pembangunan menurut jalan kapitalis[11]. Disini dapat pula kita lihat
keterkaitan antara setiap pemilik kapital yang ada dan tidak berdiri tunggal.
Kapital sosial pun demikian, dapat dilihat bagaimana jejaring
memengaruhi keberhasilan dalam dunia pendidikan. Modal sosial dapat dijadikan
produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten[12]. Realitas membuktikan bahwa semua
kegiatan dan usaha akan lebih mudah didapatkan bila mempunyai jaringan atau link
connection sebagai jalan pintas dalam memperoleh sesuatu. Kelompok elite sangat
aktif menerapkan kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki, bahkan kekuasaannya
itu diintegrasikan dengan kekuatan elite lain sehingga menciptakan jaringan
yang tak tertandingi. Dalam dunia pendidikan, hal semacam ini sering terjadi
misalnya sebagai jalan pintas untuk masuk lembaga pendidikan tertentu dan
menduduki jabatan tertentu di sistem pendidikan di Indonesia yang sering kali
berpengaruh terhadap fenomena komodifikasi pendidikan.
Didalam konsep Bourdieu dikenal pula dengan istilah Kapital
budaya, Kapital budaya merupakan kepentingan kepemilikan kompetensi atau
pengetahuan kultural yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi
tertentu yang dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan[13]. Didalam modal kultural seseorang
menjadi penguasa berdasarkan kultur masyarakat sehingga dinilai patut untuk
dihargai misalnya berupa ijazah, dan cara bersikap. Fenomena yang terjadi saat
ini adalah Praktek "penjualan
ijazah sarjana palsu (baik S1, S2, S3 bahkan Professor) dilakukan untuk ijazah
luar negeri maupun dalam negeri. Fenomena
ini turut menambah masalah pendidikan Indonesia. Aktor-aktor kolektif atau
kelompok status, berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk dapat memonopoli
sumber-sumber budaya yang akan meningkatkan prestise dan solidaritas kelompok
tersebut[14]. Modal kultural seperti sikap pun dijadikan ajang
merebut simpatisan publik yang dicerminkan melalui politik pencitraan dan
mengakibatkan buruknya pendidikan di Indonesia.
Kemudian Modal yang terakhir adalah modal simbolik misalnya
posisi atau jabatan tertentu. Dalam dunia pendidikan ditemukan kasus
penyelewangan jabatan atau posisi tersebut terutama dalam sistem pendidikan
Indoneisa yang dikemukakan ICW. Di antara kasus korupsi
tersebut, penggelapan dan penggelembungan anggaran menjadi modus korupsi yang
sering dilakukan. Berdasarkan pemantauan, terungkap 296 kasus korupsi
pendidikan dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp 619 miliar. Jumlah
tersangka sebanyak 497 orang[15].
Tidak jarang pula simbol-simbol dalam pendidikan seperti ijazah dan bentuk
simbol lainnya dipalsukan atau dalam artian yang lebih luas, pendidikan
digunakan hanya untuk sebatas memperoleh simbol pendidikan tersebut sebagai
modal kontestasi didalam masyarakat.
Produk
Internalisasi struktur nilai terhadap praktik Penyelenggaraan Pendidikan
Setiap aktor dalam
sistem pendidikan dibekali dengan serangkaian pola yang diinternalisasikan yang
mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Arena membentuk habitus yang sesuai
dengan struktur dan cara kerjanya, namun habitus juga membentuk dan mengubah
arena sesuai dengan strukturnya. Melalui
pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara
dialektis, habitus adalah ”produk internalisasi struktur” dunia sosial. Atau
dengan kata lain habitus dilihat sebagai struktur sosial terinternalisasi yang
diwujudkan. Komodifikasi pendidikan bagi peserta
didik dan bagi seluruh aktor dalam
sistem pendidikan mengalami internalisasi tanpa disadari, telah mengubah
pandangan, mindset, persepsi, sikap, dan perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari[16] atau menjadi suatu habitus. Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang dengannya
orang berhubungan dengan dunia sosial[17].
Menurut Bourdieu,
seorang individu atau aktor adalah dipengaruhi oleh strukturnya, tetapi juga
individu tersebut bebas untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Sehingga
disini yang menentukan praktek atau tindakan individu adalah arena dimana ia
berada dan habitus masing-masing individu. Dalam konsep strukturnya, Bourdieu
menekankan bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat, struktur sangat dominan
dalam mempengaruhi agen. Individu pada dasarnya sangat dominan dipengaruhi
struktur dalam kehidupannya. Akan tetapi agen juga bisa berperan dalam
mempengaruhi strutur dalam kemasyrakatan, namun tidak sepenuhnya bisa lepas
dari struktur yang ada. Jadi adanya hubungan timbal balik disini, yaitu
struktur yang mempengaruhi agen, dan agen mempengaruhi struktur.
Pemikiran konseptual yang dangkal,
pragmatis oleh penguasa bisa berdampak buruk bagi desain pendidikan nasional. Fenomena
komodifikasi pendidikan yang lekat dengan kepentingan pribadi tanpa
mementingkan kepentingan umum telah terinternalisasi, ini tercermin dari
banyaknya peserta didik yang hanya berorientasi pada ijazah dan nilai dalam
proses pembelajaran yang berdampak pada mengesampingkan hakikat pendidikan itu
sendiri. Pendidikan dimaknai semata-mata sebagai alat dalam mendapatkan
pekerjaan atau dijadikan pencapaian modal simbolik pendidikan. Pendidikan bukan
lagi dilihat sebagai penanaman nilai-nilai budaya Indonesia namun lebih kepada
pelanggengan nilai-nilai yang telah terstruktur dan mengakibatkan semakin
variatifnya problematika pendidikan Indonesia.
Tindakan
mementingkan kepentingan pribadi dilihat sebagai reproduksi tindakan atau hanya
sebagai salah satu varian sistem kecenderungan umum, yang kemudian menjadi
jelas. Meski dilihat sebagai praktik perorangan, fenomena ini telah menjadi
bagian dari praktik umum, tidak hanya melalui keseragaman tetapi juga dengan
variasi tindakan. Tindakan mementingkan kepentingan pribadi sudah menjadi nilai
yang terstruktur dan bertahan lama yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Awalnya merupakan struktur yang dibentuk, kemudian berperan membentuk perilaku,
dan berproses menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktik-praktik hidup masyarakat
tanpa disadari. Habitus yang sudah begitu kuat
tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis.
Kemudian Habitus ini berujung pangkal pada konsep Bourdieu yakni doxa, doxa adalah pandangan penguasa yang dianggap
sebagai pandangan seluruh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sikap
kritis pada pandangan penguasa dan seakan terbiaskan pada sistem yang
fungsional.
Kesadaran
Pendidikan Sebagai Alternatif Penyelesaian Masalah
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) Kesadaran diartikan sebagai keinsafan; keadaan
mengerti akan harga dirinya timbul karna ia diperlakukan secara tidak adil[18].
Pengertian kesadaran ini masih terlalu luas, karena kesadaran disini belum
difokuskan pada suatu bidang tertentu. Kemudian dalam konteks pendidikan ini,
kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran pendidikan. Kesadaran pendidikan
merupakan kehadiran sikap mengetahui, memahami, menginsafi, dan menindaklanjuti
proses pembimbingan untuk mengembangkan potensi kemampuan seseorang menjadi
sumber daya manusia yang kuat (strong human resources)[19].
Selanjutnya kesadaran pendidikan tercermin pada aktor yang berada dalam sistem
pendidikan dengan identitasnya masing-masing :
1) Pemerintah
Pemerintah yang sadar pendidikan adalah yang menjadikan
pendidikan sebagau basis utama mengatasi krisis dan problematikan bangsa. Mereka
berusaha melepaskan intervensinya antara kepentingan pribadi dan kepentingan
umum untuk mejadikan pendidikan yang hakiki. Kepentingan itu baik dilihat dari
dimensi ekonomi maupun politis.
2) Dosen
Dosen yang sadar pendidikan adalah dosen yang mengedepankan
tugas utamanya pada kegiatan mendidik, meneliti dan mengabdi pada masyarakat.
Menjadi produsen atas gagasan, ide, teori dan hukum-hukum keilmuwan dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat sebagai tombak bangsa
menuju perubahan.
3) Rektor/ dekan/ direktur Perguruan tinggi
Rektor/ dekan/ direktur perguruan tinggi yang sadar
pendidikan adalah mereka yang berusaha mengkondisikan perguruan tinggi yang
diampunya benar-benar berbasis pada bidang akademik tanpa mencampuradukan
antara kepentingan lain yang tidak sesuai dengan hakikat pendidikan.
4) Mahasiswa
Mahasiswa yang sadar pendidikan adalah mereka yang sadar
tanggung jawabnya sebagai agen perubahan dengan memiliki intelektual yang
tinggi. Pengabdian terhadap masyarakat tidak selalu diwujudkan dalam wujud aksi
namun juga dengan mengimplementasikan teori-teori yang dipelajari untuk
sepenuhnya diimplementasikan dalam masyarakat agar kebijakan dalam dunia
pendidikan dapat dijalani dan dikritisi.
5)
Kepala sekolah
Kepala sekolah yang sadar pendidikan adalah kepala sekolah
yang berfungsi sebagai pembimbing dan teladan. Mereka berusaha mengembangkan
sumber-sumber pendidikan dan menjauhkan diri dari unsur komodifikasi
pendidikan.
6) Guru
Guru merupakan tombak akhir dari sistem pendidikan untuk
diimplementasikan kepada peserta didik. Guru yang sadar pendidikan adalah guru
yang mampu membangun kesadaran pendidikan pula terhadap anak didiknya,
melunturkan konsep pendidikan sebagai komoditi terhadap anak didiknya sehingga
mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, selain itu pula dapat menghasilkan
output yang baik dan mematahkan nilai-nilai habitus (komodifikasi pendidikan)
dalam sistem pendidikan Indonesia.
Kesimpulan
Pendidikan merupakan salah satu bentuk proses
investasi yang berharga dalam wujud investasi dumber daya insani yang merupakan
salah satu bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan
eksistensinya. Kriteria keberhasilan pendidikan sebagai institusi yang berupaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia terletak pada pihak-pihak yang
terkait dalam praktik penyelenggaraan pendidikan. Namun Akibat adanya
Liberalisasi perdagangan global, Pendidikan yang pada dasarnya adalah sebuah
hak bersama yang seharusnya disediakan dan diselenggarakan oleh negara, telah
dikomodifikasi menjadi suatu arena yang berorientasi pada kepentingan penguasa,
baik sebagai arena politik maupun ekonomi.
Dalam membahas fenomena komodifikasi pendidikan ini,
dapat dilihat melalui perpektif Pierre Bourdieu seorang filsuf Perancis yang
membahas tentang struktur-struktur dominasi ekonomi maupun dominasi simbolik
dari masyarakat, yang selalu menutupi ketidakadilan di dalamnya. Didalam
fenomena ini, sektor pendidikan dijadikan arena politik dan ekonomi, yang
didalamnya terdapat pula pemilik kapital atau modal. Didalam modal ini,
Bourdieu mengemukakan 4 konsep yakni modal sosial, modal ekonomi, modal budaya
dan modal simbolik yang menghasilkan produk internalisasi berupa habitus dalam
sistem pendidikan Indonesia. Dalam pengertian ini, habitus dapat pula menjadi
fenomena kolektif. Habitus ini terjadi karena adanya internalisasi terhadap
berbagai komponen yang ada dalam sistem pendidikan yang hakikatnya adalah
menuju perubahan yang lebih baik. Namun, karena adanya komodifikasi pendidikan
ini, Pendidikan bukan lagi menjadi alat transformasi sosial. Pendidikan berubah
wajah menjadi menyeramkan, sebagai proses pembodohan melalui proyek-proyek yang
simpang siur, proses menciptakan anak didik dari yang cerah menuju yang gelap.
Pemikiran yang dangkal, pragmatis, hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat, serta
lebih didominasi wacana politis.
Namun korupsi yang telah menjelma menjadi “struktur”
selama berpuluh-puluh tahun dan secara kontinu bisa diluluhkan dengan adanya
praktik-praktik sosial baru. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa
keusangan nilai-nilai yang terstruktur itu merupakan salah satu harapan.
Keusangan nilai tersebut bisa terjadi ketika setiap aktor dalam dunia
pendidikan mulai memiliki kesadaran untuk melakukan praktik sosial baru,
memiliki kesadaran bahwa nilai-nilai tersebut bukanlah tindakan yang relevan untuk
melangkah menuju masa depan. Nilai tersebut dapat diatasi ketika mulai adanya kesadaran,
bahwa tindakan tersebut sudah bukan lagi hal yang patut dijadikan Habit.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
·
George Ritzer dan Douglas J. Goodman.
2003. Teori Sosiologi Modern. Prenada
Media: Jakarta
·
E. Surachman, Bahan Ajar Manajemen
Pendidikan, (tidak diterbitkan)
·
Mujamil Qomar.2012. Kesadaran pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
·
Pierre Bourdieu. 1990. The Logic of Practice. Atanford University Press : California.
·
Nanang Martono. 2012. Kekerasan Simbolik di sekolah: Sebuah ide
sosiologi pendidikan Piere Bourdieu. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
·
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada.
Internet
·
http://nasional.kompas.com/read/2013/08/28/1714520/ICW.Dana.Pendidikan.Jadi.Bancakan.Koruptor
·
http://kbbi.web.id/sadar
·
http://www.ui.ac.id/download/kliping/290408/akhiri_politisasi_pendidikan.pdf
Jurnal
·
Robertus Robert dan U. Abdul Razak
R “Konseptualisasi habitus untuk sosiologi-paedagogis”,
Jurnal Sosialita, Vol.9 No.1, (Juni,2011)
·
Heri Faturrahman “Mimbar Demokrasi: mengembangkan modal sosial melalui kebijakan publik),
Jurnal Ilmiah, Volume 8,No.1 (Oktober 2008)
·
Vera Yuliana “Bimbingan Belajar: Komersialisasi jasa pendidikan masyarakat menengah
atas, Scriepta Societa, Labsos, FIS UNJ
Skripsi
·
Muhammad Dhani Qurtubi.2011. Komodifikasi nilai keislaman pada Bank
Syariah, Skripsi , Jurusan Sosiologi, FIS UNJ.
·
Hilda Handayani, 2010, Jaringan Sosial untuk kebertahanan institusi
pendidikan, Skripsi, Jurusan Sosiologi UNJ.
[3] George Ritzer dan Douglas J.
Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern.
Prenada Media: Jakarta. h. 522
[4] Robertus Robert dan U. Abdul
Razak R, Konseptualisasi habitus untuk sosiologi-paedagogis, Jurnal Sosialita,
Vol.9 No.1, (Juni,2011), h.8
[6] http://www.ui.ac.id/download/kliping/290408/akhiri_politisasi_pendidikan.pdf,
Suara Pembaruan, 28 April 2008, hal 14 (diakses pada 23 Mei 2015)
[7] George Ritzer dan Douglas J.
Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern.
Prenada Media, Jakarta.,h.524
[8] Nanang Martono, Kekerasan Simbolik di sekolah: Sebuah ide
sosiologi pendidikan Piere Bourdieu, PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2012
h.33
[9]
Pierre Bourdieu. 1990. The Logic
of Practice. Atanford University
Press,California, h.67
[12] Heri Faturrahman “Mimbar Demokrasi: mengembangkan modal
sosial melalui kebijakan publik), Jurnal Ilmiah, Volume 8,No.1 (Oktober
2008) , h.8
[14] Vera Yuliana “Bimbingan Belajar: Komersialisasi jasa pendidikan masyarakat menengah
atas, Scriepta Societa, Labsos,FIS UNJ, h.108
[15] ICW: Dana Pendidikan
Jadi Bancakan Koruptor, Diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2013/08/28/1714520/ICW.Dana.Pendidikan.Jadi.Bancakan.Koruptor. Pada tanggal 28 Agustus 2013 | 17:14 WIB
[17] George Ritzer dan Douglas J.
Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern.
Prenada Media: Jakarta, h.522
[18] http://kbbi.web.id/sadar
Komentar
Posting Komentar