PENGARUH AGEN SOSIALISASI TERHADAP
FENOMENA CABE-CABEAN DIKALANGAN REMAJA
Oleh Kelompok V

Cristian Perdana Putra
Ibnu Setyaji
Melisa Octaviani
Rahayu Wilujeng
Rita Putri
Tunjung Artia Dini
Velinda Dea
Pendidikan Sosiologi A
2013/Fakultas Ilmu Sosial
PENGARUH AGEN SOSIALISASI TERHADAP
FENOMENA CABE-CABEAN DIKALANGAN REMAJA
Studi Kasus : Fenomena cabe-cabean
di Daerah Kemayoran Jakarta Pusat
ABSTRAK
Analisis ini ingin menjelaskan bagaimana
pengaruh Agen Sosialisasi terhadap fenomena cabe-cabean dikalangan remaja.
Fenomena cabe-cabean ini disebut sebagai salah satu dari berbagai masalah sosial
yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari semua sistem dimasyarakat.
Fenomena ini merupakan fenomena kausalitas atau fenomena yang memiliki banyak
sebab dan tentunya akibat yang ditimbulkan.
LATAR BELAKANG
Fenomena cabe-cabean yang tengah melanda
di kalangan ABG (Anak Baru Gede) ini memang santer didengar pada akhir tahun 2013 sampai tahun 2014 atau
sampai pembuatan tulisan ini. Tidak
ada yang tahu sebenarnya siapa yang mempelopori istilah ini, namun seperti
dilansir Hai online, istilah cabe-cabean awalnya lebih banyak
dikaitkan dengan perempuan muda dan motor balapan liar. Istilah ini biasa
dipakai orang-orang yang ada di arena balapan liar untuk menyebut para gadis
muda yang ada di situ.[1]Menurut
penelitian yang di lakukan, cabe-cabean merupakan sebutan bagi perempuan
berkisar antara usia 11-17 tahun yang sering keluar malam dengan tujuan menjadi
bahan taruhan tepatnya di tempat balap liar dengan hal siapa yang menang dalam
balapan tersebut dia lah yang dapat kencan dengan “si Cabe” .
ABG yang menjadi taruhan di arena balap banyak
yang mengatakan jenis cabe-cabean di Jakarta dibagi menjadi 3 jenis yaitu “cabe
ijo”, “cabe merah”, dan “cabe oranye”. Yang pertama “cabe ijo” memiliki kelas
tertinggi diantara kelas cabe-cabean merupakan gadis dibawah Cabe ijo juga
aktif dalam media sosial mereka memasang foto-foto dengan pose tertentu dan
akun tarif di media sosial mereka, selanjutnya “cabe merah” adalah PSK yang
umurnya diatas 16-19 tahun mereka sedikit lebih menonjol karena berani
mengenakan pakaian mini dan menunjukkan lekuk tubuhnya. Mereka kerap
menghabiskan waktu di tempat-tempat seperti mini market dan klub-klub malam.
Yang terakhir “cabe oranye” tipe cabe ini
biasanya berkumpul di taman, arena parker liar, ataupun pinggir jalan pada
beberapa kesempatan tipe cabe ini menggunakan modusnya untuk menarik pelanggan
mulai dari mengamen sampai mereka ikut dengan pembalap liar.[2]
Perilaku cabe-cabean seakan melahirkan
konsumtivisme. Konsumtivisme adalah sesuatu yang lahir dari pemikiran seorang
individu yang mementingkan diri sendiri.
“Cabe-cabean” mempercantik diri dengan cara apapun demi diri sendiri
yang ingin terlihat berbeda dan mempertahankan eksistensi dalam kelompok. konsumtivisme
adalah mereka yang selalu merasa kurang terhadap apa yang mereka punya
dan tidak peduli terhadap kebutuhan orang
lain. Konsumtivisme lahir dari pemikiran
pementingan diri sendiri dan dipengaruhi oleh materialism. Budaya Konsutivisme
pada masyarakat Indonesia juga berdampak pada pemaksaan individu mempertahankan
eksistensi di masyarakat, hasrat untuk bereksistensi inilah yang terkadang
menghalalkan segala cara demi tercapainya keinginan tersebut.
Dalam perkembangannya teknologi juga
menghendaki adanya faktor imitasi pada “cabe-cabean”, faktor lingkungan juga
yang mendukung proses terbentuknya juggernaut[3]
yang bersifat cenderung konsumtif. Fenomena ini juga berimbas pada gaya hidup
yang bisa dikatakan anomali pada gaya hidup masyarakat Indonesia pada umumnya
jika dilihat dari gaya hidup pemuda Indonesia sebelum teknologi berkembang
pesat, seiring berkembangnya teknologi masyarakat Indonesia pun juga bersifat
mudah menerima hal dari luar.
PEMBAHASAN
Sebutan
cabe-cabean tidak asing lagi dalam kalangan masyarakat, cabe-cabean ini dapat
pula disebut profesi yang terbentuk karena pergaulan bebas khususnya perempuan dibawah
umur yang bisa dikatakan telah mengenal bisnis prostitusi
khususnya ditempat balap liar. Tak terelakan fenomena cabe-cabean ini merupakan
dampak dari tidak berfungsinya atau penyimpangan fungsi (disfungsi) oleh
agen-agen sosialisasi yang berperan sebagai agen untuk proses sosialisasi.Malinowski
memandang bahwa setiap aspek dalam kehidupan masyarakat itu,satu sama lain
saling berhubungan dan menjadi penggerak bagi perkembangan masyarakat dan
kebudayaannya,dalam rangka berbagai pemenuhan kebutuhan kelompok dan individu
yang ada dimayarakat.[4]
Agen agen sosialisasi itu antara lain :
Keluarga
Dalam hal ini keluarga merupakan peran utama dalam
tumbuh kembang anak-anak remaja. Cabe cabean timbul dari faktor kurangnya kasih saying dan faktor ekonomi keluarga yang
kurang, artinya seorang menjadi cabe-cabean karena faktor keingin membeli
sesuatu yang tidak dapat ia beli. keluarga juga menjadi peran utama dalam
seorang remaja dalam bergaul, karena lingkungan diluar keluarga menjadi salah satu pemicu seorang remaja menjadi cabe-cabean. Cabe-cabean timbul karena adanya dorongan dari
dalam hati karena kurangnya tanggung jawab dan perhatian keluarganya serta
peran orang tua yang kurang dalam tumbuh kembang anak remaja. dalam konteks ini
cabe-cabean bukanlah remaja yang selalu di salahkan karena keluarga juga turut
andil dalam hal ini, anak remaja yang menjadi cabe-cabean karena ingin membeli hal-hal yang
orang tuanya tidak sanggup membelikan , hampir semua berhubungan dengan materi remaja yang kurang dalam materi atau ekonomi namun juga kurang
pengawasan dari orang tua sehingga ia bisa bebas pergi di malam hari tanpa
sepengetahuan orang tuanya.Misalnya seorang menjadi cabe-cabean karena ia ingin membeli hp baru, baju baru,
dll karena orang tuanya tidak sanggup membelikannya. sedangkan ia juga
berpacaran dengan orang yang sering disebut "joki balap motor" dalam
adu balap motor, hal ini sangat
berpengaruh. Pandangan bahwa
cabe-cabean adalah seorang anak remaja yang gaul dan mampu membeli apa yang
mereka inginkan, selalu ada didalam benak mereka. Kurangnya penanaman agama yang dilakukan orang tua
sewaktu anak tumbuh menjadi remaja juga berpengaruh kepada tumbuh kembang anak
tersebut. maka kurangnya ketakutan kepada Tuhan menjadikan ia seperti itu.
Wimpie berpendapat, selain tidak adanya
pendidikan seks yang benar ada beberapa
faktor lainnya yang mempengaruhi fenomena remaja yang menjajakan seks.
Pertama minimnya perhatian dari orang tua, orang tua tidak tahu apa yang
dilakukan anaknya diluar rumah, tidak dekat dengan anaknya.
Lingkungan atau teman sebaya
Pengaruh faktor lingkungan, khususnya teman sebaya
merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi perilaku seseorang termasuk untuk melakukan hal-hal yang negatif .
Kelompok sebaya
mempunyai peran penting dalam penyesuaian diri remaja, dan persiapan bagi
kehidupan di masa mendatang, Berperan pula terhadap pandangan dan perilakunya.
Kelompok teman sebaya juga berperan pada saat remaja mengahadapi konflik antara
ingin bebas dan mandiri serta ingin merasa aman, pengganti yang hilang dan
dorongan kepada rasa bebas yang dirindukannya. Dalam hal ini apabila kelompok
teman sebaya memotivasi untuk melakukan hal-hal tertentu dengan mudah
mendoktrin para anggotanya untuk melakukan suatu hal tersebut.Fenomene immoral
ini biasanya didorong oleh pemanjaan diri dan kompensasi terhadap labilitas
kejiwaan,karena anak-anak gadis itu tidak merasa senang dan puas atas kondisi
dirinya sendiri atau lingkungannya.[5]
Sekolah
atau Lembaga Pendidikan
JAKARTA,
KOMPAS.com — Orangtua dan para pendidik di sekolah memiliki peran penting dalam
mencegah merebaknya "cabe-cabean", sebuah fenomena di mana para
pelajar SMP dan/atau SMA mulai menjajakan dirinya.
Orang tua maupun pendidik perlu
memberikan pendidikan agama, moral, dan budi pekerti kepada mereka. Demikian
disampaikan Eni, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMAN 13 Jakarta Utara,
dan Tinah, seorang orangtua siswa, Rabu (2/4/2014). Eni mengatakan, pihak
sekolah terus melakukan kerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional untuk memberikan pengetahuan seputar reproduksi sehat. Para
peserta didik juga diberikan informasi seputar risiko dari aktivitas seksual di
luar nikah. Di sisi lain, kata Eni, sekolah telah membuat aturan yang jelas
terkait perilaku siswa. Bagi para pelanggar, sekolah memberikan sanksi tegas
sesuai dengan pelanggarannya. "Bagi yang terbukti, mereka harus
mengundurkan diri," kata Eni. Sementara itu, Tinah mengatakan, ia selalu
mengingatkan putrinya untuk berhati-hati memilih teman bergaul. Ia mengaku
selalu mengawasi kegiatan anaknya. Pasalnya, lingkungan pertemanan turut
membentuk perilaku dan sikap anak. Tinah mengatakan, para orangtua tidak
seharusnya hanya mengandalkan para guru dalam mendidik para siswa. Pasalnya,
mereka hanya menghabiskan sebagian waktu di sekolah. Sebagian lainnya
dihabiskan di luar lingkungan sekolah. Ia juga mengaku selalu memonitor
aktivitas anaknya di jejaring sosial.[6]
Dalam
hal ini sekolah sebagai lembaga pendidikan berperan untuk memberikan
nilai-nilai dan norma yang ada dimasyarakat mengimplementasikannya secara
praksis berupa pendidikan moral dan karakter peserta didik.
Media massa
Di zaman Globalisasi ini media massa
merupakan hal yang sangat mempengarui gaya hidup remaja,dengan melalui media
massa yang memberikan informasi yang sangat luas dan informasi terbaru, rasa
keingin tahuan para remaja yang sangat tinggi sehingga media massa dijadikan
informan yang sangat baik bagi para remaja. Semua hal yang terjadi dalam negeri
maupun dunia dapat kita akses dengan mudah dan cepat melalui situs-situs yang
dengan mudah kita akses melalui internet. Kegiatan remaja yang lebih banyak
menghabiskan waktunya di depan televisi sehingga media televisi yang dapat
memberi informasi tentang fenomena yang terupdate tak terkecuali fenomena
cabe-cabean tersebut. Gerbner berpendapat bahwa media
massa menanamkan sikap dan nilai tertentu.
Gambar
(visual) dan suara (audio) yang ada pada televisi mampu mempersuasi
khalayak
untuk menirukan apa yang ditampilkan di layar televisi.[7]
Para remaja memang cenderung selalu mengikuti cara berpakaian para artis idola
mereka dan mereka melihat dari televisi.
Pandangan
Materialisme Marx
Marxisme dimulai dengan ide bahwa materi
adalah esensi dari semua realitas, dan bahwa materi membentuk akal, dan bukan
sebaliknya. Dalam teorinya, Marx mengatakan bahwa matrealisme adalah cara
berpikir tentang atau memandang yang melihat masyarakat berbasis pada benda/
material. Artinya dalam matrealisme materi dianggap sebagai sesuatu yang sangat
penting.Keadaan sosial menyangkut produksi masyarakat, pekerjaan masyarakat.
Manusia ditentukan oleh produksi mereka: apa yang mereka produksi dan cara
mereka berproduksi. Pandangan ini disebut materialis.
Dalam pandangan materialisme Marx sesungguhnya
yang mengubah masyarakat dari waktu ke waktu adalah materi.[8] realita
sosial yang merupakan menjadi faktor pembentuk kesadaran dari individu. Marx menjelaskan
bahwa keadaan yang terjadi pada realitas sosial tidak dipengaruhi oleh gagasan
yang berasal dari diri individu, melainkan dari hal-hal nyata yang dapat
dilihat dan diamati oleh individu[9].
Dalam kasus yang terjadi pada fenomena “cabe-cabean” dimana faktor nurture[10]
lah yang mendasari tindakan mereka dalam menjalani gaya hidup. Dengan
berkembangnya teknologi yang memudahkan dalam mengakses informasi yang berasal
dari manapun, maka tidaklah terelakan lagi perubahan pandangan kearah western
yang dijadikan mode gaya hidup. Perubahan yang terjadi pada anak muda yang
cenderung menjadi makhluk cosmo[11]
yang beorientasikan pada budaya yang bukan pada budaya asli yang dimiliki
olehnya.
Teori matrealisme Karl Max yang dikenal sebagai historical Matrealism yang mengatakan bahwa perilaku manusia di
tentukan oleh kedudukan materinya, di gunakan untuk mengembangkan sistem
organisasi. Dalam materialisme sejarah
menurut Marx, tampak sejarah ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi.
Faktor-faktor ekonomi seperti memainkan peran tunggal dalam perkembangan
sejarah manusia. Hal yang dapat menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan
kebebasan manusia dalam sejarah manusia? Bukankah kebebasan manusia juga
memainkan peranan penting dalam sejarah manusia?
Begitu pula
dengan kesadaran dan cita-cita manusia ditentukan oleh keadaannya dalam
masyarakat dalam hal ini kedudukannya dalam kelas sosial.
Dalam fenomena yang mendasar berdasarkan
terbentuknya manusia cosmo, memberikan gambaran dimana pada remaja Indonesia
tidak memiliki kepribadian bangsa yang kuat dalam membangun rasa cinta terhadap
budaya bangsa. Seakan terlena akan gemerlap modernitas pada westernisasi,
dimana disetiap sisi kehidupan cenderung lebih membanggakan hal yang berbau
“barat” dan merasa kuno bila menerapkan budaya lokal yang dimiliki sejak dulu.
Krisis identitas, juga mempengaruhi pola pikir dari “cabe-cabean” diaman mereka
juga tidak lagi memikirkan apa yang akan di dapatkannya pada aktifitas
keluyuran pada malam hari dengan pakaian minim, berboncengan dengan rangkap
tiga dalam satu motor, hingga bergaul dalam aktifitas balap liar, dan menjurus
kearah pergaulan bebas yang merupakan mabuk-mabukan, malakukan seks bebas,
hingga membuat keonaran menjadi lumrah untuk dilakukan.
Dalam pandangan materialisme Marx realita
sosial yang merupakan menjadi faktor pembentuk kesadaran dari individu. Marx
menjelaskan bahwa keadaan yang terjadi pada realitas sosial tidak dipengaruhi
oleh gagasan yang berasal dari diri individu, melainkan dari hal-hal nyata yang
dapat dilihat dan diamati oleh individu[12].
Apa yang kita pikirkan dan bagaimana kita melihat dunia ini secara keseluruhan
ditentukan oleh kondisi fisik dan realitas sosial dimana kita hidup.[13]
Bukan kesadaran manusia yang menentukan
keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosial merekalah yang menentukan
kesadaran mereka”
KESIMPULAN
Fenomena cabe-cabean adalah salah satu
fenomena yang sudah tidak asing lagi kita dengar dizaman sekarang ini. Cabe –
cabean adalah wanita yang bekerja untuk memperoleh uang dengan
memiliki banyak tujuan. Tidak ada yang tahu sebenarnya siapa yang
mempelopori istilah ini, namun seperti dilansir Hai online, istilah
cabe-cabean awalnya lebih banyak dikaitkan dengan perempuan muda dan motor
balapan liar. Istilah ini biasa dipakai orang-orang yang ada di arena balapan
liar untuk menyebut para gadis muda yang ada disana sebagai bahan taruhan
balapan liar tersebut.Fenomena sosial ini tidak terlepas oleh karena menurunnya
moral pada generasi muda di Indonesia, dan budaya konsumtivisme yang
sesungguhnya meruntuhkan nilai-nilai luhur di Indonesia.
Sebutan cabe-cabean merupakan Sebutan
untuk masalah sosial yang baru dikalangan remaja. Sebelum sebutan cabe yang
menurut penelitian merupakan singkatan dari Cewek Alay Bahan “Ehem” ini adalah
sebutan untuk perempuan yang sama yaitu Kimcil atau bahan taruhan ditempat
balap liar. Perlu disadari bahwa fenomena ini merupakan mata rantai dari sistem
yang ada. Agen-agen sosial yang tidak melakukan fungsi sebagai mana mestinya
(disfungsi) ditengarai merupakan penyebab dari fenomena pergaulan bebas dan
mengaburnya nilai dan norma pada masyarakat (juggernaut). Agen-agen sosial itu
adalah keluarga, lingkungan atau teman sebaya, lembaga pendidikan juga media
masa yang turut memiliki andil dalam maraknya fenomena sosial ini.
Fenomena cabe-cabean ini relevan apabila
dianalisis melalui teori Karl Marx tentang Materialisme atau paham yang
menganggap bahwa sesuatu yang berbentuk benda (material) adalah penting. Marx
menjelaskan bahwa keadaan yang terjadi pada realitas sosial tidak terpengaruh
oleh gagasan yang berasal dari individu, melainkan dari hal-hal nyata yang
dapat dilihat dan diamati oleh individu tersebut.
Pentingnya Pendidikan moral dan
Pendidikan karakter seharusnya menjadi tanggung jawab dari berbagai pihak yaitu
keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah. Menanamkan nilai pendidikan moral
dapat dimulai dari lingkungan keluarga karena merupakan tempat pijakan awal
anak belajar membentuk karakter moral dan keluarga sebagai fasilitator.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
·
Nasrullah Nazir, Teori-teori Sosiologi (Bandung:Tim Widya Padjajaran,2008)
·
Dr.Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: Rajawali Pers,2009)
·
Salim,Perubahan Sosial (Yogyakarta:PT Tiara Wacana,2002)
·
Marx, Karl. On Society and Social Change. Chicago:
The University of Chicago Press.1973
·
Watkins, Susan Alice, Marice Rueda dan
Marta Rodridguez, Marxisme Untuk Pemula (Yoyakarta:Resis book,2008)
Jurnal
·
http://m.liputan6.com/health/read/778218/fenomena-cabe-cabean-melanda-gadis-abg-apa-kata-anak-gaul diunduh tanggal 18 Desember 2013
·
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/04/01/1154512/Mengenal.Cabe-cabean.di.Jakarta Diunduh tanggal 1 April 2014
Skripsi
·
Maria
Ulfah Hanafi, Hubungan terpaan Sinetron remaja dengan sikap remaja terhadap
pergaulan bebas Remaja di Surabaya (Surabaya Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran”,2011)
[1] http://m.liputan6.com/health/read/778218/fenomena-cabe-cabean-melanda-gadis-abg-apa-kata-anak-gaul
diunduh tanggal 18 Desember 2013
[2] http://megapolitan.kompas.com/read/2014/04/01/1154512/Mengenal.Cabe-cabean.di.Jakarta
Diunduh tanggal 1 April 2014
[3]
Giddens menjelaskan bahwa Juggernaut bagaikan “dunia yang terus berputar”
dengan besarnya peningkatan percepatan, cakupan, dan besarnya perubahan dari
sistem-sistem yang mendahuluinya. (Ritzer:Theory of Sociology)
[4]
Nasrullah Nazir, Teori-teori Sosiologi (Bandung:Tim Widya Padjajaran,2008),h.
49.
[5]
Dr.Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: Rajawali Pers,2009),h. 227.
[6] http://megapolitan.kompas.com/read/2014/04/02/2132419/Fenomena.Cabe
Cabean.Orang.Tua.dan.Guru.Ikut.Awasi diunduh tanggal 02 April 2014
[7]
Maria Ulfah Hanafi, Hubungan terpaan Sinetron remaja dengan sikap remaja
terhadap pergaulan bebas Remaja di Surabaya (Surabaya Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran”,2011),h. 4.
[8] Salim,Perubahan
Sosial (Yogyakarta:PT Tiara Wacana,2002), h.29.
[9]
Marx, Karl. On Society and Social Change. Chicago: The University
of Chicago Press.1973
[10]
Nurture adalah dimana kepribadian individu yang dipengaruhi cenderung
berdasarkan faktor lingkungan individu tersebut.
[11]
Cosmo merupakan keadaan dimana manusia mengalihkan segala kehipupannya pada
teknologi, dan mengubah sosialisasinya pada sosial media.
[12]
Marx, Karl. On Society and Social Change. Chicago: The University
of Chicago Press.1973
[13]
Watkins, Susan Alice, Marice Rueda dan Marta Rodridguez, Marxisme Untuk Pemula
(Yoyakarta:Resis book,2008), h.30 .
Komentar
Posting Komentar