Rahayu Wilujeng
Pendidikan Sosiologi A/ 2013
Paradigma dalam Sosiologi
Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), paradigma diartikan sebagai model
atau kerangka berpikir dalam ilmu pengetahuan[1].
Paradigma ini ditentukan dari dua aspek pendukung yakni perspektif intelektual
dan perspektif sosial, kedua aspek inilah yang akhirnya membentuk kerangka atau
model teoritis dalam kajian ilmiah. Suatu ilmu pengetahuan pada dasarnya selalu
memiliki paradigma atau pandangan, namun paradigma tidak diartikan sebagai
suatu teori ilmiah atau inti dari pokok pembahasan melainkan pandangan yang
berisikan tentang teori-teori ilmiah tersebut. Paradigma bisa didefinisikan
oleh suatu pencapaian ilmiah sebagai contoh atau sampel dimana sejumlah
kesulitan ilmiah diatur dan dipecahkan dengan menggunakan pelbagai teknik
konseptual dan empiris[2]. Dari
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam satu cabang ilmu pengetahuan
nampaknya dimungkinkan adanya beberapa paradigma. Paradigma ini digunakan dalam
semua ilmu pengetahuan tidak terkecuali dalam ilmu-ilmu sosial.
Menurut Kuhn, suatu paradigma berfungsi
apabila semua anggota komunitas peneliti ilmiah menerima kesamaan antara apa
yang lebih dulu secara perceptual merupakan hal-hal yang berbeda dan tidak sama[3]. Dalam
mengkaji ilmu pengetahuan sosial dengan dinamika gejala sosialnya yang penuh
dengan kemungkinan, sudah barang tentu faktor intelektual tidak dapat
dipisahkan dari kekuatan sosial. Salah satu bidang studi sosial yang lekat
dengan masyarakat adalah bidang studi sosiologi yang berkembang dan lahir dari
pemikiran sosiologis para pendahulunya. Bidang studi Sosiologi ini merupakan contoh
ilmu berparadigma ganda, disebut demikian karenakan kelahiran suatu paradigma sosiologi
dipengaruhi oleh paradigma pendahulunya.
Jonathan Turner dan Doyle Johnson,
mengategorikan sosiologi kontemporer menjadi fungsionalisme, interaksionisme
simbolik, pertukaran sosial, dan konflik. Namun George Ritzer, yang
berlandaskan pada konsep paradigma yang dirumuskan Thomas Kuhn, melihat bahwa
sosiologi kontemporer terdiri dari paradigma perilaku sosial, definisi sosial,
dan fakta sosial. (Samuel, 2012: 92)[4].
Dalam
pengkategorian paradigma tersebut, berikut ini dipaparkan tiga paradigma besar
dalam sosiologi.
1. Paradigma
Fakta Sosial
Awal munculnya paradigma ini dipelopori oleh seorang pemikir asal Perancis
bernama Emile Durkheim, dimana ia melihat filsafat sebagai ancaman karena
menurutnya dua orang tokoh sosiologi dominan yakni Comte dan Spencer dalam
pandangannya lebih bersifat filosofis daripada sosiologis.
Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta
sosial dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu (Thing)
yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh
ilmu pengetahuan. Barang yang dimaksud tidak dapat dipahami melalui kegiatan
mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data
riil diluar pemikiran manusia.
Fakta sosial ini menurut
Durkheim terdiri atas dua macam yakni dalam bentuk material dan non-material. Dalam bentuk material contohnya arsitektur dan norma
hukum.
Dalam bentuk non-material yaitu sesuatu yang ditangkap
nyata (eksternal) contohnya norma adat, norma kesusilaan, kesopanan dan suatu
nilai yang diperhitungkan dalam kehidupan bermasyarakat. Fakta ini bersifat
inter subjective yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contah
egoisme, altruisme, dan opini.
Ada empat jenis
teori yang termasuk ke dalam paradigma fakta sosial ini. Masing-masing adalah :
·
Teori
Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang menekankan kepada keteraturan (order)
dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
·
Teori Konflik,
yaitu yang menganggap bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan
dan ditandai oleh pertentangan atau konflik yang terus menerus.
·
Teori Sistem yakni
berkaitan dengan nilai-nilai, institusi atau pranata sosial yang
menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat yang saling berkaitan antar setiap
unsurnya.
·
Teori Sosiologi
Makro
2. Paradigma
Definisi Sosial
Paradigma definisi sosial mengacu pada seorang sosiolog asal Jerman yakni
Max Weber yang menegaskan tentang tindakan sosial antar hubungan social. Secara
definitif Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk
menafsirkan dan memahami (interpretatif understanding) tindakan sosial serta
antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal[5]. Yang
dimaksudkannya adalah tindakan individu dan mempunyai makna bagi dirinya untuk
mempengaruhi serta diarahkan kepada tindakan orang lain.
Ada tiga teori yang termasuk kedalam
paradigma definisi sosial ini yakni Teori Aksi (action theory),
Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan Fenomenologi (Phenomenology).
Ketiga teori tersebut mempunyai kesamaan yang memandang bahwa individu merupakan aktor yang kreatif dalam
menghadapi realitas sosialnya. Artinya tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan
oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya yang kesemuanya itu tercakup dalam konsep
fakta sosial[6].
Sehingga dapat dikatakan bahwa penganut ketiga teori yang termasuk kedalam
paradigma definisi sosial ini memandang individu sebagai pencipta kebebasan dan
kreativitas didalam kehidupan sosialnya.
3. Paradigma
Perilaku Sosial
Paradigma ini muncul untuk menyerang paradigma fakta sosial dan paradigma
definisi sosial oleh seorang tokoh sosiologi bernama B.F. Skinner, yang menganggap
bahwasannya kedua teori tersebut bersifat mistik karena mengandung persoalan
yang rumit dan tidak dapat diterangkan secara rasional. Menurutnya pengertian
yang diciptakan itu tak perlu disertai dengan unsur mistik seperti ide dan
nilai sosial itu, karena ide dan nilai itu tidak nampak secara nyata namun Skinner
menyarankan untuk melihat masyarakat dari perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari yang dianggap lebih realistis. Bagi paradigma perilaku sosial ini,
individu ditentukan oleh stimulus yang
didapatkan diluar dirinya, maka dapat dikatakan perilaku manusia tidak sebebas
paradigma definisi sosial.
Adapun dua teori yang termasuk kedalam paradigma perilaku sosial yakni Behavioral Sociology yang lebih menitik
beratkan pada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi didalam
lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor, dan Teori Exchange yang dibangun untuk memberikan reaksi terhadap
paradigma fakta sosial.
[1] http://kbbi.web.id/paradigma
[2] Prof.
Konrad Kebung Ph.D, 2011, Filsafat Ilmu Pengetahuan, ,Jakarta: Prestasi
Pustakaraya, h.189
[3] Ibid; h.190
[4] http://adiksikopi.blogspot.com/2014/03/paradigma-dalam-sosiologi.html
[5] George Ritzer,
2007, Sosiologi ilmu pengetahuan berparadigma ganda, Jakarta: Rajawali Press,
h.38
[6] Ibid; h.43
Komentar
Posting Komentar