Langsung ke konten utama

Analisis kasus pembunuhan Angeline melalui teori Kontrol Sosial

1. Kasus Kejahatan : Pembunuhan  berencana
Derita Terpendam di Balik 'Diam' Angeline[1]
Oleh Dyah Puspita Wisnuwardani on 22 Jun 2015 at 20:17 WIB
Liputan6.com, Denpasar - Isak tangis dan emosi pecah dari para guru SDN 12 Kesiman, Sanur, Denpasar, Bali, ketika kantong berwarna oranye dikeluarkan oleh polisi dari sebuah rumah di Jalan Sedap Malam Nomor 26 Denpasar, Rabu 10 Juni 2015. 
"Angeline...Angeline," panggil seorang guru wanita dan anak-anak dari sekolah itu sembari menangis sesenggukan menatap kantong jenazah yang membelah kerumunan warga. Di dalam kantong itulah tubuh mungil Angeline, bocah berusia delapan tahun yang sebelumnya dikabarkan hilang sejak Sabtu 16 Mei 2015, terbujur kaku. Tubuhnya kemudian diangkut ke dalam mobil ambulans untuk dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar, guna keperluan otopsi. "Kami menemukan ada kekerasan pada tubuh korban yang utamanya di daerah wajah dan leher berupa kekerasan tumpul," kata dr Ida Bagus Putu Alit, tim dokter forensik RSUP Sanglah. Indikasi bocah itu tewas karena mengalami kekerasan pun mencuat di balik misteri kematian Angeline. Mengapa Angeline yang dilaporkan hilang oleh ibu angkatnya, Margriet Megawe, ternyata ditemukan dikubur di halaman belakang rumahnya? Dan siapa pula yang tega melakukan
Tanya demi tanya seakan tidak berhenti muncul dari masyarakat Indonesia dan menjadi tugas pihak kepolisian menjawab sebab musabab kematian murid SD kelas 2-B itu. Namun penasihat hukum pada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar, Siti Sapurah, menilai banyak kejanggalan yang meliputi sejak Angeline dilaporkan hilang hingga ditemukan tewas.
Description: http://cdn1-a.production.liputan6.static6.com/medias/906080/big/045425400_1434795631-Denpasar_Timur-20150620-01148.jpg Description: http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/906747/big/094556200_1434945013-engeline-ilustrasi-2.jpg
 







Tim Inafis Polda Bali menggelar olah TKP lanjutan kasus Angeline di rumah Margriet Megawe. (Liputan6.com/ Dewi Divianta)

Sejak awal, aktivis anak itu bahkan menyatakan keyakinannya jika bocah tersebut hilang karena dibunuh bukan karena diculik atau menghilang karena melarikan diri. Indikasi itu, lanjut dia, berangkat dari minimnya petunjuk dan saksi dari warga sekitar yang menandakan atau melihat bocah cantik itu diculik orang lain. Pun jika ia melarikan diri dari rumah, ia yakin Angeline akan ditemukan oleh orang lain dan dilaporkan kepada pihak berwajib.
"Kemungkinan apakah anak ini dihilangkan, atau dikubur atau dibunuh itu ada sebenarnya, dugaan ke arah sana itu ada," ucapnya ketika menemui Kepala Polsek Denpasar Timur Komisaris Polisi I Gede Redastra, sebelum Angeline ditemukan Kabar hilangnya bocah bertubuh kurus itu pun terus menyebar melalui media sosial. Bahkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat lokal dan asing yakni Yayasan Sahabat Bali dan "Savechildhoods" yang berkedudukan di Inggris juga turut mencari bocah itu. Beberapa komunitas masyarakat mulai dari ibu-ibu warga negara asing, turis mancanegara, pecinta motor gede, hingga teman-teman sekolah Angeline ikut bergabung menjadi sukarelawan menyebarkan brosur berisi foto dan identitas bocah berambut panjang itu. Brosur itu disebarkan di sepanjang jalan raya yang kerap kali dilalui Angeline saat berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki sejauh dua kilometer. Bahkan pada saat itu, M dan kedua kakak Angeline juga turut menyebarkan brosur berhadiah hingga Rp 40 juta bagi siapapun yang menemukan Angeline. Sosok pendiam Semasa hidupnya, di kalangan guru-guru di SDN 12 Kesiman Sanur, Angeline dikenal sebagai sosok yang pendiam dan jarang bergaul dengan teman-temannya. Putu Sri Wijayanti, Wali Kelas 2-B menjelaskan bahwa Angeline memiliki kepribadian tertutup dan terkadang tidak mengikuti pelajaran tepat waktu karena sering terlambat datang ke kelas.
Menurut dia, Angeline kerap terlambat karena harus memberi makan ayam peliharaan Margriet sebelum ke sekolah dan harus berjalan kaki 2 km ke sekolah. Bahkan, ia bersama guru lainnya sempat memandikan bocah malang itu karena penampilannya yang kotor dan bau kotoran ayam. "Saya pernah memandikan dia di sekolah. Kasihan, badannya kotor," ucapnya. Melihat kondisi itu, pihak sekolah sebelumnya berencana mendatangi kediaman Angeline untuk menemui orangtua angkatnya setelah pelaksanaan Ujian Nasional. Meluasnya pemberitaan hilangnya Angeline oleh awak media, juga sampai ke telinga Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi dan Menteri Perempuan dan Anak, Yohana Yembise yang secara terpisah mengunjungi kediaman Angeline. Namun pejabat pembantu Presiden Joko Widodo itu gagal menemui keluarga terutama M. Padahal Yohana mengaku telah memberi tahu pihak keluarga terkait kunjungannya itu sebagai bentuk kepedulian negara atas kabar hilangnya Angeline.
Menteri Yohana pun mengaku kecewa dan meminta polisi untuk menahan sang ibu angkat. "Saya kecewa dan saya menaruh curiga kepada ibu itu. Seharusnya anak hilang, ibu itu ada di rumah. Saya minta kepada pihak kepolisian agar mereka ditahan," ucap Yohana saat mengunjungi kediaman Angeline pada Sabtu 6 Juni 2015. Hingga kini polisi masih mengungkap kematian Angeline, walaupun dari hasil otopsi menyebutkan bahwa bocah itu mengalami kekerasan akibat terkena benda tumpul hingga menyebabkan ia tewas. Masyarakat Indonesia pun kini menunggu "jawaban" polisi atas pertanyaan-pertanyaan itu, mengungkap siapa pelaku dan motif pembunuhan yang melatarbelakangi akhir hidup Angeline yang tragis.

b. Premis teori kontrol dikemukakan F.Ivan Nye terdiri dari[2] :
1.      Harus ada kontrol internal maupun eksternal. Internal itu terdiri dari keluarga, sementara kontrol yang sifatnya eksternal adalah teman, pihak sekolah, dan tetangga sekitar rumah Angeline.
2.      Manusia diberikan kaidah-kaidah supaya tidak melakukan pelanggaran; kaidah-kaidah itu diciptakan agar ibu korban sekaligus tersangka dalam pembunuhan Angeline ini tidak melakukan tindak pembunuhan, namun karena kurangnya kontrol sosial, maka penyimpangan itu terjadi bahkan ditutup-tutupi.
3.      Pentingnya proses sosialisasi bahwa ada sosialisasi adequat (memadai), akan mengurangi terjadinya delinkuen, Sosialisasi berarti penanaman nilai dan norma yang seharusnya ditanamkan pada keluarga tersangka.
4.      Dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang; dan
5.      Diharapkan remaja menaati hukum (law abiding).

c. Terjadinya kasus ini menegaskan adanya kelalaian pengawasan atau kontrol sosial di lingkungan sekitar, termasuk di sekolah. Angeline dikenal sebagai sosok yang pendiam. Selama ini masyarakat mengetahui bagaimana kondisi Angeline sehari-hari. Misalnya saja adalah tetangga, lingkungan sekitar korban yang dalam hal ini diberitakan mereka mengetahui bagaimana Angeline dibesarkan oleh ibu angkatnya yang penuh dengan kekerasan dan adanya unsur penelantaran. Terlihat dari kondisi tubuh Angeline yang tidak jarang menyiratkan bukti kekerasan yang dilakukan seseorang. Begitu juga guru-guru di sekolah Angeline, ketidakpekaan masyarakat sekolah terhadap anak didiknya yang selalu datang terlambat, dengan baju lusuh ini lah yang akhirnya memberikan peluang bagi ibu korban sekaligus tersangka untuk melakukan tindak pidana pembunuhan yang awalnya tanpa diketahui oleh siapapun.
Terkait adanya gangguan psikologis antara ibu angkat dan anak tersebut, pihaknya menilai tidak ada pengaruh signifikan. Namun, terjadi kedekatan emosional antar personal yang sangat mempengaruhi sikap seseorang terhadap yang lainnya. Travis Hirchi sebagai pelopor teori kontrol sosial ini, mengatakan bahwa “Perilaku kriminal merupakan kegagalan kelompok – kelompok sosial seperti keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikatkan atau terikat dengan individu”[3], Dalam hal ini kontrol sosial, memandang delinkuen sebagai “konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum”. Dan apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif untuk mencapai tujuan terbatas, maka terjadilah delinkuen. Menurut F. Ivan Nye manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi.
Satu hal yang perlu diingat adalah masyarakat dan pemerintah juga harus mengawasi setiap proses adopsi anak," ujar Psikolog dari Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi) Provinsi Bali Retno IG Kusuma [4] Ia mengharapkan masyarakat mulai meningkatkan kesadaran kontrol sosialnya sehingga kasus-kasus seperti ini tidak terjadi lagi. "Kedepannya tidak ada lagi kejadian seperti ini," katanya.[5] Menurut Travis Hirschi, terdapat empat elemen ikatan sosial (social bond) dalam setiap masyarakat :[6]
·         Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Kalau attachment ini sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain. Dalam hal ini, kepekaan masyarakat yang terkait dengan kasus pembunuhan Angeline diperlukan dalam menjadikan ikatan atau kontrol sosial bagi individu agar tidak melakukan tindak pembunuhan.
·         Commitment adalah keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Komitmen merupakan aspek rasional yang ada dalam ikatan sosial. Segala kegiatan yang dilakukan seseorang seperti sekolah, pekerjaan, kegiatan dalam organisasi akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Dalam kasus Angeline. Subsistem tersebut tidak menjalankan fungsi proteksinya dengan maksimal.
·         Involvement merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem. Jika seseorang berperan aktif dalam organisasi maka kecil kecenderungannya untuk melakukan penyimpangan. Logika pengertian ini adalah bila orang aktif di segala kegiatan maka ia akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalam kegiatan tersebut.
·         Belief  merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut.



[2] Adiyatma. P . Idris ,Analisis Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Anak di bawah Umur Berdasarkan Pasal 332 KUHP, Universitas Negeri Gorontalo, Skripsi, hlm 47.

[5] Ibid
[6] Ciek Juliyati Hisyam. 2013. Bahan Ajar Sosiologi perilaku menyimpang. (tidak diterbitkan) Jakarta: UNJ. Hlm. 133

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sosiologi Berparadigma Ganda

Rahayu Wilujeng Pendidikan Sosiologi A/ 2013 Paradigma dalam Sosiologi Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), paradigma diartikan sebagai model atau kerangka berpikir dalam ilmu pengetahuan [1] . Paradigma ini ditentukan dari dua aspek pendukung yakni perspektif intelektual dan perspektif sosial, kedua aspek inilah yang akhirnya membentuk kerangka atau model teoritis dalam kajian ilmiah. Suatu ilmu pengetahuan pada dasarnya selalu memiliki paradigma atau pandangan, namun paradigma tidak diartikan sebagai suatu teori ilmiah atau inti dari pokok pembahasan melainkan pandangan yang berisikan tentang teori-teori ilmiah tersebut. Paradigma bisa didefinisikan oleh suatu pencapaian ilmiah sebagai contoh atau sampel dimana sejumlah kesulitan ilmiah diatur dan dipecahkan dengan menggunakan pelbagai teknik konseptual dan empiris [2] . Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam satu cabang ilmu pengetahuan nampaknya dimungkinkan adanya beberapa paradigma. Paradigma in

Essay kreasi literasi di era digital

Restrukturisasi Masyarakat melalui pemanfaatan e-library Oleh : Rahayu Wilujeng Memasuki dekade kedua abad 21, everything is digital. Digitalisasi merambah ke setiap aspek kehidupan manusia, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga ke pengelolaan sebuah negara. Begitu juga dengan Indonesia, arus globalisasi menuntut Indonesia untuk berpartisipasi dalam euforia era digital ini. Sebagai negara berkembang, Indonesia diharapkan mampu memanfaatkan teknologi digital untuk mem-boost kemajuan Indonesia lebih dan lebih lagi, terutama dalam dunia pendidikan. Karena sebagai pondasi utama sebuah negara, pendidikan berada dalam posisi yang sangat sentral untuk menentukan masa depan bangsa. Mau dibawa kemana bangsa ini sangat ditentukan oleh bagaimana minat masyarakatnya terhadap baca-tulis. Literasi sebagai jantung pendidikan akan sangat penting dalam mendukung imajinasi dan kreativitas masyarakat. Oleh karena itu, literasi sangat berperan dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Peningk