Langsung ke konten utama

PENCARIAN IDEOLOGI BANGSA DALAM KURIKULUM 1964

PENCARIAN IDEOLOGI BANGSA DALAM KURIKULUM 1964


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI 2013
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2015
KURIKULUM 1964
Oleh: Rahayu Wilujeng[1]

Abstrak
Kurikulum merupakan rancangan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran, Kurikulum di Indoenesia tidak pernah lepas kaitannya dengan perpolitikkan, terutama pasca kemerdekaan Indonesia (1960)an yang saat itu Indonesia sedang membangun Negeri sehingga masih mencari  ideologi bangsa, hal ini berpengaruh pada sistem pendidikan yang berganti kebijakan dan kurikulumnya. kurikulum dalam rentang waktu tertentu memang diubah untuk menyesuaikan keadaan yang ada. Bagaimana kurikulum 1960-an memberikan mata pelajaran yang didapat, model pembelajaran, penjurusan, sekolah kejurusan di era tersebut.

Kata Kunci : Kurikulum, Ideologi, Kebijakan, Model Pembelajaran

PENDAHULUAN
Sejarah kurikulum pendidikan di indonesia kerab berubah setiap ada pergantian menteri pendidikan, sehingga mutu pendidikan indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya,ekonomi,dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, Kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaannya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikan.
Dasar pendidikan di Indonesia pada periode 1964 tetap berlandaskan pancasila. Dasar pendidikan ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 1945 ketika bangsa indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. meskipun selama periode ini indonesia sudah menggunakan tiga undang-undang dasar, tetapi setiap UUD tersebut pancasila tetap dijadikan falsafah negara, dengan demikian secara otomatis menjadi dasar pendidikan di indonesia.  Tiap kurikulum mencerminkan keinginan, cita-cita, tuntutan, dan kebutuhan masyarakatnya[2]. Begitu pula di Indonesia, tujuan pendidikan yang akan dicapai dalam periode ini didasarkan pada undang-undang no.4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah yang semula hanya berlaku di wilayah RI [3](dulu). Dalam UU No. 4 Tahun 1950, Bab II, Pasal 3 ditetapkan bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Kurikulum sebagai pendukung pendidikan juga merupakan perangkat yang strategis untuk menyemaikan kepentingan dan membentuk konsepsi dan perilaku individu warga. Kurikulum terakhir pada masa orde lama adalah kurikulum 1964. Masa orde baru lahir 4 kurikulum. Menurut Bourdieu, setiap tindakan pedagogis yang bertujuan untuk memproduksi kebudayaan dapat disebut kekerasan simbolis yang sah. Kekuatan kekerasan ini berasal dari hubungan kekuasaan sesungguhnya yang disembunyikan oleh kekuatan pedagogis. Kurikulum yang berlaku dalam suatu Negara, termasuk Indonesia, sering digunakan sebagai sarana indoktrinasi dari suatu system kekuasaan.  Dunia pendidikan memang seringkali menganggap bahwa kurikulum adalah soal teknis belaka. Namun sebenarnya, berbicara tentang kurikulum adalah berbicara tentang sumber-sumber kekuasaan dalam dunia pendidikan.
Kurikulum adalah program dan isi dari suatu system pendidikan yang berupaya melakukan proses akumulasi ilmu pengetahuan antar genarasi dalam suatu masyarakat.
Dalam sebuah masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu merisaukan. Namun dilihat dari konteks masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, kurikulum adalah pertarungan antar kekuasaan yang hidup dalam suatu masyarakat. Kelompok masyarakat yang dominan akan mempertahankan kurikulum untuk mempertahankan dominasinya melalui system persekolahan. Sampai sejauh ini pendidikan di Indonesia menggunakan satu kurikulum, yaitu kurikulum nasional yang dipakai sebagai acuan tunggal. Semua lembaga pendidikan formal di negeri ini, baik dikota besar, pelosok gunung, maupun dipinggiran pantai, memiliki kurikulum yang sama. Dengan demikian, proses pendidikan yang diterapkan adalah dalam upaya membentuk keseragaman berfikir. Melalui proses pendidikan nasional, generasi muda Indonesia dibentuk oleh system pendidikan yang mengacu pada politik Etatisme.
Melalui kurikulum nasional, pendidikan di Indonesia telah menjalani proses yang amat berlainan dengan perkembangan kebudayaan sehingga pendidikan di Indonesia bukan lagi menjadi persoalan kebudayaan, melainkan lebih sebagai kepentingan politik disatu sisi, dan kepentingan ekonomi di sisi lain. Dengan demikian, jika orang masuk kelorong pendidikan di Indonesia, ia tidak menemukan proses berfikir kritis, tetapi justru menjadi terasing dari lingkungan sosialnya.
Menurut seorang pakar pendidikan dari Malanag, T Raka Joni, ketersampaian pesan pada kurikulum bukan bergantung pada materi pesan yang ingin disampaikan, melainkan lebih pada cara menyampaikan pesan (the process is the content, the medium is the message)[4]. Akan tetapi, ini justru tidak tepat bila disampaikan hanya dalam kerangka pikir content transmission model.
Identitas dapat dicapai dengan penyusunan pengalaman belajar yang dikontekstualisasi dengan kebutuhan setempat.  Di sini kreatifitas dan keberpihakan guru menjadi sangat penting. Sekolah bisa menjadi arena (field) anak-anak untuk membentuk habitus (kebiasaan) baru tanpa didominasi kepentingan sentralistis yng sebenarnya secara diam-diam masih ditenggarai termuat dalam standar isi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar yang disusun secara terpusat. Dengan demikian, kebebasan mengembangkan pengalaman belajar itu sungguh terjadi. Tujuan pendidikan yang sesuai kerangka Visi Indonesia 2030-menciptakan masyarakat maju, sejahatera, mandiri, dan berdaya saing tinggi-dapat diarahkan
Berbicara mengenai latar belakang kurikulum 1960 mengalami proses yang cukup panjang. Pada tahun 1954 dikeluarkan Undang-undang no. 12 tentang dasar –dasar pendidikan dan pengajaran disekolah Undang-Undang ini merupakan pemberlakuan kembali Undang-Undang No.4 Tahun 1950 untuk seluruh wilayah RI [5]. Ketetapan yang tercantum didalamnya sama dengan ketetapan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1950. Demikian pula dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam Bab II Pasar 3 pada  kedua Undang-Undang tersebut  Sejak tahun 1960 Indonesia telah berada di bawah gelora Manipol-Usdek yang seolah-olah menjadi panglima dalam kehidupan politik indonesia dan dalam bidang kehidupan lain. Bidang pendidikan pun tak luput dari pengaruh tersebut. Keputusan Presiden No.145 tahun 1965 merumuskan tujuan nasional pendidikan indonesia adalah cita-cita utama setiap usaha pendidikan di indonesia sesuai dengan Manipol-Usdek[6]. Manusia sosialis indonesia adalah cita-cita utama setiap usaha pendidikan di indonesia, sedangkan pepentingan kehidupan pribadi agar di nomerduakan. Dalam keputusan Presiden RI No.145 Tahun 1965 tentang nama dan rumusan induk sistem pendidikan nasional, Tujuan ditetapkan sebagai berikut.
“Tujuan pendidikan nasional baik yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta, dari pendidikan prasekolah sampai pendidikan tinggi, supaya melahirkan warga negara sosialis indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materiil dan yang berjiwa pancasila yaitu a)Ketuhanan yang maha Esa. b) peri kemanusiaan yang adil dan beradap c) kebangsaan d) kerakyatan dan e) keadilan sosial,seperti dijelaskan dalam Manipol/Usdek” [7]

Tujuan nasional pendidikan Indonesia tahun 1966 dirumuskan melalui ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang agama, pendidikan, dan kebudayaan. Ketetapan tersebut diperlukan untuk mengganti Tujuan Nasional Pendidikan Tahun 1965 yang sudah tidak sesuai dengan kondisi keadaan kehidupan Orde baru. Dalam ketetapan MPRS No. XXVII, tujuan nasional Pendidikan Indonesia tercantum dalam Bab 1 Pasal 3 yang menetapkan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945`
Fungsi kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendididkan idak lain merupakan alat untuk mencapai tujuan pendididkan.dalam hal ini, alat untuk menempa manusia yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pendidikan suatu bangsa dengan bangsa lain tidak akan sama karena setiap bangsa dan Negara mempunyai filsafat dan tujuan pendidikan tertentu yang dipengaruhi oleh berbagai segi, baik segi agama, idiologi, kebudayaan, maupun kebutuhan Negara itu sendiri.            
Sesuai dengan Keputusan MPRS[8] No. II/MPRS/1960 telah dirumuskan mengenai manusia sosialis Indonesia sebagai suatu bagian dari sosialisme Indonesia yang menjadi tujuan pembangunan nasional, yakni tata masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. (Tilaar, 1995:254). Sebagai alat yang berfungsi untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan, kurikulum suatu sekolah berisi uraian tentang jenis-jenis program apa yang diselenggarakan sekolah tersebut, bagaimana menyelenggarakannya, dan perlengkapan apa yang dibutuhkan[9]. Maka, pelaksanaan keputusan tersebut di sekolah diimplementasikan ke dalam kurikulum yang dapat menjiwai keputusan MPRS tersebut. Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No, 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional antara lain dirumuskan mengenai pembinaan manusia Indonesia sebagai manusia Indonesia baru yang berjiwa Pancasila Manipol/USDEK dan sanggup berjuang untuk mencapai cita-cita tersebut
·         Manpower yang cukup untuk melaksanakan pembangunan
·         Kepribadian kebudayaan nasional yang luhur
·         Ilmu dan teknologi yang tinggi
·         Pergerakan massa aksinya seluruh kekuatan rakyat dalam pembangunan dan revolusi
·         Sesuai dengan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 maka pendidikan berfungsi sebagai berikut.
·         Pendidikan sebagai Pembina manusia Indonesia baru yang berakhlak tinggi
·         Pendidikan sebagai produsen tenaga kerja dalam semua bidang dan tingkatan
·         Pendidikan sebagai lembaga pengembangan kebudayaan nasional
·         Pendidikan sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan teknik dan fisik/mental
·         Pendidikan sebagai lembaga penggerak seluruh kekuatan rakyat.
Kurikulum 1960 ini erat kaitannya dengan situasi politik di Indonesia pada zaman itu sehingga dirumuskan bahwa “pendidikan sebagai alat revolusi dalam suasana berdikari mengharuskan pembantingan stir dalam segala bidang khususnya bidang pendidikan” (Tilaar, 1995:255). Maka berdasarkan kebijakan pemerintah tersebut, tujuan pendidikan di mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi ialah melahirkan warga negara yang sosialis Indonesia yang susila, bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, baik spiritual maupun material dan yang berjiwa Pancasila.isi moral pendidikan nasional ilah Pancasila Manipol/USDEK[10]. Kemudian, Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila menjelaskan sistem pendidikan nasional terdiri atas:
·         Pendidikan Biasa (Pendidikan Pra-Sekolah, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi)
·         Pendidikan Khusus
·         Pendidikan Luar Biasa
Rencana Pendidikan 1964 melahirkan Kurikulum 1964 yang menitik beratkan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang kemudian dikenal dengan istilah Pancawardhana.[11] Disebut Pancawardhana karena lima kelompok bidang studi, yaitu kelompok perkembangan moral, kecerdasan, emosional/artisitk, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pada saat itu pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan dengan perkembangan anak.

PEMBAHASAN
1.      Konteks Sosial, Ekonomi, Politik, dan Kebudayaan
a.      Konteks Politik Indonesia 1959-1965
Pada masa pergantian kurikulum tahun 1960, sistem politik yang diterapkan di Indonesia adalah Demokrasi Terpimpin. Sistem ini berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga jatuhnya kekuasaan Sukarno. Latar belakang dicetuskannya sistem Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Soekarno. Dari segi keamanan adalah banyaknya gerakan sparatis pada masa Demokrasi Liberal, menyebabkan ketidakstabilan di bidang keamanan. Yang kedua adalah dari segi perekonomia, sering terjadinya pergantian kabinet pada masa    Demokrasi Liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat. Kemudia demokrasi terpimpin dicetuskan juga karena Konstituante gagal dalam menyusun UUD[12] baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran beliau agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD'45. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan voting yang diikuti oleh seluruh anggota konstituante. Voting ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut. Hasil voting menunjukan bahwa 269 orang setuju untuk kembali ke UUD'45 dan 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD'45[13].
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD'45 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950. Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959[14] :
a. Tidak berlaku kembali UUDS 1950
b. Berlakunya kembali UUD 1945       
c. Dibubarkannya konstituante
d. Pembentukan MPRS dan DPA
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959 diganti dengan Kabinet Kerja. Program Kabinet meliputi keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Jaya, dan sandang pangan. Dengan Penetapan Presiden No.2 tahun 1959, dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang anggota-anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut[15]:
1. Setuju kembali kepada UUD 1945
2. Setia kepada perjuangan RI, dan
3. Setuju dengan Manifesto Politik.
Keanggotaan MPRS[16] terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan wakil-wakil golongan. Tugas MPRS adalah menetapkan garis-garis besar haluan negara sesuai pasal 2 UUD 1945. Presiden juga membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketuai oleh Presiden sendiri, mempunyai kewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah (pasal 16 ayat 2 UUD 1945). DPA dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959. DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 tetap menjalankan tugasnya dengan landasan UUD 1945 dan dengan menyetujui segala perombakan yang dilakukan oleh pemerintah, sampai tersusun DPR baru. Semula nampaknya anggota DPR lama akan mengikuti saja kebijaksanaan Presiden Sukarno, akan tetapi ternyata kemudian mereka menolak Anggaran Belanja Negara tahun 1960 yang diajukan oleh pemerintah. Penolakan Anggaran Belanja Negara tersebut menyebabkan dikeluarkannya Penetapan Presiden No.3 tahun 1960, yang menyatakan pembubaran DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955. Tindakan itu disusul dengan usaha pembentukan DPR baru. Dan pada tanggal 24 Juni 1960 Presiden Sukarno telah selesai menyusun komposisi DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
Para anggota DPR-GR yang baru itu dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Komposisi DPR-GR terdiri dari anggota golongan Nasionalis, Islam, dan Komunis dengan perbandingan 44:43:30. Peraturan-peraturan dan tata-tertibnya juga ditetapkan oleh Presiden. Tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manipol, merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 5 Januari 1961 Presiden Sukarno menjelaskan lagi kedudukan DPR-GR yaitu bahwa DPR-GR adalah pembantu Presiden/Mandataris MPRS dan memberi sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan oleh MPRS.
Presiden Sukarno pada upacara bendera Hari Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1959 mengucapkan pidato yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Dalam sidangnya pada bulan September 1959, DPA dengan suara bulat mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden tanggal 17 Agustus tersebut dijadikan garis-garis besar haluan negara, dan dinamakan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Usul DPA itu diterima baik oleh Presiden Sukarno. Dan pada sidangnya pada tahun 1960, MPRS menetapkan Manifesto Politik itu menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). [17]
Dalam Ketetapan itu diputuskan pula, bahwa pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 dengan judul: “Jalannya Revolusi Kita” dan Pidato Presiden tanggal 30 September di muka Sidang Umum PBB yang berjudul To build the world anew (Membangun dunia kembali) merupakan pedoman-pedoman pelaksanaan Manifesto Politik[18]. Terhadap perkembangan politik itu pernah ada reaksi dari kalangan partai-partai, antara lain dari beberapa pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) dan dari PNI. Reaksi juga datang dari Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) dan Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia. Sutomo mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Agung dengan suratnya tanggal 22 Juni 1960. Sutomo menuduh kabinet bertindak sewenang-wenang dan mengemukakan beberapa fakta sebagai berikut:
a.       Paksaan untuk menerima Manipol dan Usdek, tanpa diberi tempo terlebih dahulu untuk mempelajarinya;
b.       Paksaan supaya diadakan kerja sama antara golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis;
c.       Paksaan pembongkaran Tugu Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Memang di kalangan partai-partai terdapat variasi sikap dan pendapat. Pelbagai tokoh partai menggabungkan diri dalam Liga Demokrasi yang menentang pembentukan DPR-GR. Liga Demokrasi diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU, tergabung beberapa tokoh NU, Parkindo, Partai Katholik, Liga Muslim, PSII, IPKI, dan Masyumi. Pada akhir bulan Maret 1960 Liga tersebut mengeluarkan satu pernyataan yang antara lain menyebutkan: supaya dibentuk DPR yang demokratis dan konstitusional. Oleh sebab itu, hendaknya rencana pemerintah untuk membentuk DPR-GR yang telah diumumkan tersebut, ditangguhkan. Adapun sebagai alasan dikemukakan antara lain[19]:
a.       Perubahan perimbangan perwakilan golongan-golongan dalam DPR-GR, memperkuat pengaruh dan kedudukan suatu golongan tertentu.
b.      DPR yang demikian pada hakekatnya adalah DPR yang hanya akan meng-ia-kan saja, sehingga tidak dapat menjadi soko guru negara hukum dan demokrasi yang sehat.
c.       Pembaharuan dengan cara pengangkatan sebagaimana yang dipersiapkan itu adalah bertentangan dengan azas-azas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang.
Kegiatan Liga Demokrasi tersebut hanya nampak pada waktu Presiden Sukarno berada di luar negeri. Setibanya Presiden di tanah air, beliau segera melarang Liga Demokrasi. Tindakan Presiden Sukarno selanjutnya adalah mendirikan Front Nasional, yaitu suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional itu diketuai oleh Presiden Sukarno sendiri. Presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi [20](MPPR). MPPR beserta stafnya merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR), dalam mengambil kebijaksanaan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR terdiri dari sejumlah menteri yang mewakili MPRS dan DPR-GR, departemen-departemen, angkatan-angkatan dan wakil dari organisasi Nasakom. Badan ini langsung berada di bawah Presiden.
Dalam periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha menempatkan dirinya sebagai golongan yang menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Kekuatan politik pada waktu itu terpusat di tangan Presiden Sukarno dengan TNI-AD dan PKI di sampingnya. Sehubungan dengan strateginya yang “menempel” pada Presiden Sukarno, PKI secara sistematis berusaha memperoleh citra sebagai Pancasilais dan mendukung ajaran-ajaran Presiden Sukarno yang menguntungkannya. TNI-AD mensinyalir adanya tindakan-tindakan pengacauan yang dilakukan PKI di Jawa Tengah (PKI malam).  TNI pun bertindak dengan melakukan pengawasan terhadap PKI, namun Presiden Sukarno justru memerintahkan agar segala keputusan itu dicabut kembali. Pidato-pidato Presiden Sukarno yang berjudul Resopim, Takem, Gesuri, Tavip, Takari jelas menggambarkan sikap politik Presiden Sukarno yang cenderung kepada TKI dan membuat PKI untuk menyudutkan TNI-AD sebagai pihak yang sumbang suaranya. Puncak dari kegiatan PKI adalah meletusnya Pemberontakan G 30 S/PKI.

b.      Konteks Ekonomi Indonesia tahun 1959-1965
Dengan meletusnya peristiwa G30 S/PKI mengakibatkan kondisi politik, militer, sosial dan ekonomi menjadi sangat kacau. Terlebih memang pada tahun-tahun itu Indonesia mengalami krisis ekonomi yang begitu hebat karena pemerintah dibawah pemerintahan Soekarno tidak berhasil mengendalikan laju perekonomian saat itu, kondisi politik yang terus mengalami perubahan juga berdampak akan hal itu sehingga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah mulai berkurang. Keadaan ekonomi saat itu mengalami stagflasi (stagnasi dan inflasi). 
Pada bulan Agustus 1965 Soekarno menarik Indonesia dari hubungan-hubungan yang masih tersisa dengan dunia kapitalis (Dana Moneter Internasional/IMF[21], Interpol, Bank Dunia). Kini struktur sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia hampir runtuh. Inflasi sangat tinggi, dengan harga-harga barang naik sekitar 500 persen selama setahun itu.Diduga harga beras pada akhir tahun 1965 sedang naik sebesar 900 persen setiap tahun. Kurs pasar gelap untuk rupiah terhadap dolar Amerika jatuh dari Rp 5.100,00 pada awal tahun 1965 menjadi Rp 17.500,00 pada kuartal ketiga tahun itu dan Rp 50.000,00 pada kuartal keempat[22].
Rakyat kesulitan mendapat kebutuhan pokok. Defisit saldo neraca pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat besar (1965 : defisit 200% APBN). Jumlah pendapatan pemerintah rata-rata Rp 151 juta (’55-65), sedangkan pengeluaran rata-rata 359 juta atau lebih dari 100% pendapatan[23]. Kegiatan sektor pertanian dan sektor industri manufaktur relatif terhenti karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, tingkat inflasi sangat tinggi, mencapai lebih dari 300 - 500% per tahun.
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno dan PKI meluntur. Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; merekapun menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya gerakan anti terhadap PKI dan timbul pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya. Pemerintah melakukan Devaluasi pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi. Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa orde lama banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain.
Di kota-kota besar, kota-kota kecil, dan desa-desa kaum komuis maupun yang anti komunis merasa yakin akan cerita-cerita tentang sedang dipersiapkannya regu-regu pembunuh dan sedang disusunnya daftar calon para korbannya. Ramalan-ramalan, pertanda-pertanda, dan tindak kekerasan merajalela. Sejak akhir bulan September dengan berkumpulnya puluhan ribu tentara di Jakarta dalam rangka mempersiapkan peringatan Hari Angkatan Bersenjata pada tanggal 05 Oktober, dugaan-dugaan tentang akan terjadinya kudeta menjadi semakin santer. Pada tanggal 20 September,Yakni akhirnya mengumumkan bahwa angkatan darat menetang pembentukan “angkatan kelima”. Pada tanggal 30 September malam sampai 01 Oktober 1965 ketegangan-ketegangan meletus karena terjadinya percobaan kudeta di Jakarta.Pada tanggal 30 September 1965 malam struktur yang lemah tersebut hancur.Kejadian itu berlangsung berbulan-bulan sebelum akibat-akibatnya menjadi jelas, tetapi perimbangan kekuatan-kekuatan yang bermusuhan yang mendukung demokrasi terpimpin telah berakhir.

c.       Konteks Sosial Indonesia tahun 1959-1965
Sejak tahun 1959 Indonesia berada dibawah gelora Manipol- Usdek [24]yang seolah-olah menjadi panglima dalam kehidupan politik Indonesia dan dalam bidang kehidupan lain. Bidang pendidikan pun tak luput dari pengaruh tersebut. Keputusan Presiden No.145 Tahun 1965 merumuskan tujuan nasional pendidikan Indonesia sesuai dengan Manipol-Usdek. Manusia sosialis Indonesia adalah cita-cita utama setiap usaha pendidikan di Indonesia, sedangkan kepentingan kehidupan pribadi agar dinomorduakan.
Dasar Pendidikan di Indonesia pada Periode ini tetap berlandaskan pancasila. Dasar pendidikan ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 1945 ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Meskipun selama periode ini Indonesia sudah menggunakan tiga undang-undang dasar, tetapi dalam setiap UUD tersebut Pancasila tetap dijadikan dasar falsafah negara, dengan demikian secara otomatis menjadi dasar pendidikan di Indonesia. Dalam keputusan Presiden RI No.145 Tahun 1965 tentang nama dan rumusan induk sistem pendidikan nasional, tujuan ditetapkan sebagai berikut [25]:
“Tujuan Pendidikan Nasional baik yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta, dari pendidikan Prasekolah sampai pendidikan tinggi, suoaya melahirkan warga negara Sosialis, yang bertanggung jawab atas terlaksananya masyarakat Sosialis Indonesia, adil, dan makmur baik spirituil maupun materiil dan berjiwa Pancasila, yaitu : a) Ketuhanan Yang Maha Esa; b) Perikemanusiaan yang adil dan beradab; c) Kebangsaan; d) Kerakyatan dan e) Keadilan Sosial, seperti dijelaskan dalam Manipol/ Usdek”
Pertikaian ideologi dalam pendidikan juga nampak antara kelompok organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) [26]yang dipimpin oleh Soebiadinata dengan PGRI nonvaksentral yang diprakarsai golongan kiri (PKI) dan mendapat perlindungan dari Prof. Prijono, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD dan K) pada saat itu. Pangkal pertikaian adalah tentang landasan sistem pendidikan berdasarkan Pancasila yang didukung oleh PGRI pimpinan Soebiadinata, organisasi kemasyarakatan kependidikan nonkomunis, yang oleh Prijono, melalui PGRI nonvaksentral akan dibelokkan arahnya menjadi sistem pendidikan berdasarkan Komunisme, dengan memperkenalkan konsep Pancacinta. Pertikaian ideologi ini memuncak dengan dipecatnya 27 orang karyawan Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan yang mempertahankan sistem pendidikan Pancasila[27].
Namun upaya- upaya golongan kiri komunisme ini mengalami kegagalan total, dan sementara itu tujuan pendidikan yang berlandaskan pada Manipol-Usdek ini tidak bertahan lama. Dengan meletusnya peristiwa G30 S/ PKI tahun 1965, tujuan pendidikan iini ditinggalkan. Masyarakat Indonesia mulai sadar akan maksud-maksud politis PKI yang tercantum dalam tujuan tersebut dengan menggunakan Pancasila sebagai perisai.

d.      Konteks Budaya Indonesia tahun 1959-1965
Sesuai dengan semboyan PKI “ politik adalah panglima”  maka seluruh kehidupan masyarakat diusahakan untuk berada di bawah dominasi politiknya. Kampus diperpolitikkan mahasiswa yang tidak mau ikut dalam rapat umumnya, appel-appel besarnya dan demonstrasi-demonstrasi revolusionernya di caci maki dan dirongrong oleh unsur Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) [28]atau satelit-satelitnya. Wartawan yang ikut BPS dimaki-maki sebagai antek Nekolim atau agen CIA[29]. Bahkan para budayawan maupun seniman juga tak luput dari raihan tangan mereka.
Realisme sosialis sebagai doktrin komunis dibidang seni dan sastra diusahakan untuk menjadi doktrin di Indonesia juga. Akan tetapi pelaksanaan doktrin tersebut lebih represif dari pada persuasive seperti adanya larangan bagi pemusik-pemusik pop untuk memainkan lagu-lagu ala imperialis barat. Peristiwa yang paling diingat oleh masyarakat pada bidang budaya adalah heboh mengenai Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI).  Sesungguhnya isi dari Manifes Kebudayaan itu tidaklah baru atau luar biasa. Yang diungkap adalah konsepsi humanisme universal yang timbul dalam masyarakat liberal yang menekankan kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif. PKI tidak serta merta menyerang manifes tersebut akan tetapi berselang 4 bulan setelah kemunculannya baru mulai angkat senjata. Hal ini terjadi karena para sastrawan Pancasilais baik yang mendukung manifes kebudayaan maupun tidak sedang menyiapkan rencana untuk menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI). PKI menganggap bahwa sebuah manifest saja bukanlah ancaman bagi mereka akan tetapi suatu pengelompokan yang terorganisasi merupakan bahaya yang harus segera ditumpas sebelum berkembang lebih besar. Para sastrawan yang sudah menyiapkan KKPI memiliki perencanaan yang matang. Mereka sudah  melakukan pengaman secukupnya baik berupa konsepsi maupun dukungan dari pejabat-pejabat dan kekuatan-kekuatan pancasilais.
Setelah kemunculan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI) barulah PKI mulai mengadakan kampanye untuk mengidentifikasi KKPI dan PKPIdengan manifest kebudayaan untuk sama-sama dihancurkan. Serangan terhadap manifest kebudayaan terus dilancarkan melalui tulisan yang semakin tajam dalam Harian Rakyat, Bintang Timur dan Zaman Baru[30]. PKI menganggap manifest kebudayaan sebagai bentuk penyelewengan dari revolusi Indonesia yang berporos pada soko guru tani, buruh dan prajurit. Di lain sisi PKI [31]mendukung penuh gagasan manifest politik karena dalam ide-ide tersebut terdapat penyesuaian gagasan sikap politik budaya dari perjuangan komunisme. Manifes kebudayaan dianggap mengesampingkan manifest politik karena memisahkan antara politik dan kebudayaan. Propaganda PKI yang hebat sedikit banyak telah mempengaruhi massa, serangan-serangan terhadap pendukung manifest kebudayaan dan KKPI tidak ada hentinya dalam harian, pidato, tokoh-tokoh PKI maupun aksi politik. Serangan lewat media mass media, aksi turun kejalanberdemonstrasi dilakukan oleh penyokong PKI. Aksi-aksi tersebut mengundang presiden Soekarno sehingga pada ulang tahun Departemen Perguruan Tinggi dan ILmu Pengetahuan (PTIP) yang ke-3 menyampaikan pidato yang mendesak mahasiswa revolusioner dan molotan untuk menggeser guru-guru besar dan sarjana anti manifest politik. Pidato Presiden Soekarno tentang Manipol-Usdek yang dimanfaatkan PKI untuk pentrapan bagi konsumsi rakyat. Dalam pidato ini Presiden soekarno mengecam adanya kebudayaan barat yang diasosiasikan dengancita-cita imperialism barat. Kekuatan Pki setelah tahun 1963sangat besar dan berpengaruh sekali, Bahkan PKI dapat keluar masuk istana secara mudah. Sehingga Presiden soekarno mengeeluarkan larangan terhadap manifest kebudayaan karena manifesto politik republic Indonesia sebagai pancaran pancasiala telah menjadi garis besar haluan negara tidak mungkin didampingi manifesto lain apalagi kalau manifesto itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi dan member kesan berdiri disampingnya.
Pernyataan Presiden Soekarno yang menganggap pendukung manifest kebudayaan bertentangan dengan manipol merupakan suatu tuduhan yang sangat berbahasa pada saat itu. Pencetus utama manifest kebudayaan H.B Jassin, wiratmo Sukitodan Trisno sumardjo merasakan ahwa mereka harus membuat suatu pernyataan berkenaan dengan perintah pelarangan dari Presiden soekarno untuk menjelaskan posisi manifesto kebudayaan, membersihkan diri mereka dari massa yang digerakkkan PKI. Oleh sebab itu pada tanggal 11 Mei 1964 ketiga tokoh tersebut menanggapi larangan Presiden Soekarno. Pernyataan ini dibuat agar angka korban yang jatuh akibat dukungan kepada manifest kebudayaan tidak meningkat[32].
Pada tanggal 27 Agustus-2 September 1964 PKI mengadakan Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) di Jakarta. KSSR ini dimaksudkan untuk menandingi KKPI yang diadakan bulan Maret lalu. KSSR mau membuktikan bahwa suasana kebudayaan berada dibawah kekuasaaan PKI[33]. Dengan demikian berhasilllah PKI memukul manifest kebudayaan akan tetapi PKPI tidak dapat mereka hancurkan. Benteng Pancasila tidak dapat ditaklukkan oleh PKI selain itu para sastrawan Indonesia mendapatkan pelajaran berharga bahwa untuk menghadapi komunisme diperlukan juga senjata berupa organisasi.

2.      Fase-fase Penting dalam masa Kurikulum 1960

Tabel 1.1
Fase- fase Penting Kurikulum[34]

Tahun Kurikulum
Fase-fase penting Kurikulum
1954
Fase atau kejadian penting pertama yang kelompok temui mengenai adanya kurikulum 1954 ini diawali dari perubahan sebutan kurikulum dengan nama Rencana Pelajaran 1954 dari yang sebelumnya bernama “Rencana Pelajaran Terurai 1952”.Fase atau kejadian penting kedua adalah Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya UndangUndang No. 4 Tahun 1950 adanya Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran Disekolah Untuk Seluruh wilayah Indonesia. Fase atau kejadian penting ketiga adalah adanya UU tentang dasar-dasar pendidikan untuk pertama kalinya mengeluarkan kebijakan wajib belajar anak selama 6 tahun untuk anak-anak.
1959
Fase atau kejadian penting pertama yang kelompok temui mengenai adanya kurikulum tahun 1959 ini, diawali dari adanya demokrasi terpimpin (orde lama) yang dipimpin oleh presiden Soekarno. Fase atau kejadian penting kedua adalah Indonesia mengalami perubahan politik yang sangat mendasar ketika UUD tahun 1950 dinyatakan tidak lagi berlaku dan Indonesia kembali menggunakan UUD 1945. Fase atau kejadian penting ketiga adalah Presiden Soekarno memperkenalkan konsep kehidupan bangsa yang baru yaitu Manipol Usdek (Manipol : Manifesto Politik ; USDEK : Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia) Fase atau kejadian penting ketiga ini adalah bahwa Menteri Muda Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Dr Prijono (Priyono) mengeluarkan instruksi pada tanggal 17 Agustus 1959 yang terkenal dengan nama Sapta Usaha Tama (Tujuh Usaha Utama).
1960
Fase atau kejadian penting pertama yang kelompok temui mengenai adanya kurikulum 1960 ini dilatarbelakangi oleh adanya ketetapan MPRS oleh pemerintah. Fase atau kejadian penting kedua adalah bahwa Presiden Soekarno telah menetapkan Manifesto Politik menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Fase atau kejadian penting ketiga adalah adanya pembentukan DPR yang baru oleh Presiden Soekarno menjadi DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong).
1964
Fase atau kejadian penting pertama yang kelompok temui mengenai adanya kurikulum 1964 dilatarbelakangi oleh sebuah titik akhir dari kekuasaan Soekarno.Pada akhir era kekuasaan Soekarno, kurikulum pendidikan yang lalu diubah menjadi Rencana Pendidikan 1964. Isu yang berkembang pada rencana pendidikan 1964 ini, adalah konsep pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep pembelajaran ini memfokuskan peserta didik di sekolah agar mampu memikirkan sendiri pemecahan masalah (problem solving).
Fase atau kejadian penting kedua yang melatarbelakangi kurikulum ini adalah awal terbentuk nya hari Sabtu sebagai Sabtu Krida. Yaitu murid diberi kebebasan dalam pengembangan potensi mereka di bidang olahraga, budaya, dan seni.yang sekarang disebut sebagai kegiatan Ekstrakulikuler. Fase atau kejadian penting keempat yang melatarbelakangi kurikulum ini adalah Indonesia telah bebas dari masalah buta huruf. Tepatnya Indonesia berada di puncak buta hufur terbebas pada tanggal 31 desember 1964.
Fase atau kejadian penting kelima yang melatarbelakangi kurikulum ini adalah untuk pertama kalinya pada kurikulum 1964 ini, mengubah penilaian rapor  bagi kelas I dan II yang asalnya berupa skor 10 – 100 menjadi huruf A, B, C, dan D. Sedangkan bagi kelas II hingga VI tetap menggunakan skor 10 – 100.

1965
Fase atau kejadian penting pertama yang kelompok temui mengenai adanya kurikulum 1965 ini adalah adanya perubahan politik dari pemerintahan orde lama ke orde baru, dan Demokrasi Pancasila yang Murni Dan Konsekuen / Orde Baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto.



3.      Partisipasi Masyarakat
Seperti halnya pada pendidikan periode 1945-1950, kesempatan belajar juga diberikan seluas-luasnya kepada setiap anak Indonesia. Kesempatan ini tercantum dalam UU No. 4 Tahun 1950, UU No, 12 Tahun 1954, Pasal 17 yang menyatakan bahwa:
“Tiap-tiap warga negara RI mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah, jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu”[35].
Di samping itu, dalam Pasal 21 ayat 1 dinyatakan bahwa sekolah-sekolah negeri menerima murid laki-laki dan perempuan, kecuali sekolah-sekolah kepandaian atau keahlian yang khusus untuk murid-murid laki-laki atau murid perempuan[36]. Bahkan dalam keadaan tertentu pendidikan dapat diberikan secara khusus dan terpisah. Dari undang-undang tersebut dapat disimpulkan dalam tiga hal.
Pemerintah memberikan kesempatan belajar bagi setiap golongan masyarakat untuk mencapai tingkat yang tertinggi, asalkan memenuhi syarat. Bagi warga masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah, tetapi berprestasi dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi dengan bantuan pemerintah yaitu melalui beasiswa. Pemerintah memberikan kesempatan belajar bagi setiap golongan masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin.
Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 Bab VII Pasal 20 tentang Kewajiban Belajar, dinyatakan bahwa anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang berumur 8 tahun wajib belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun. Pada tahun 1954 terdapat kira-kira 15 juta anak usia sekolah dasar yang harus ditampung di Sekolah Rakyat. Untuk itu diperlukan gedung sekolah. Jika satu sekolah mempunyai enam ruang dan setiap guru mengajar 40 murid maka kebutuhan gedung sekolah adalah 15.000.000 dibagi dengan (6 X 40) menjadi 62.500 gedung SR. Namun, kenyataannya sebagian besar gedung sekolah sudah tua usianya sehingga masih banyak yang menggunakan gedung darurat, menggunakan gedung bersama dengan sekolah lain, menggunakan gedung milik asing yang dinyatakan milik pemerintah, menggunakan bekas gudang, dan menggunakan gedung sekolah asing yang ditutup. Di samping itu, jumlah baru masih sedikit sehingga diperlukan tambahan gedung sekolah baru. Pembangunan tersebut banyak mengalami hambatan karena kesulitan mendapatkan tanah dan biaya. Demikian pula sekolah lanjutan masih banyak menggunakan gedung darurat. Untuk universitas masalah sama, misalnya Universitas Gadjah Mada, berkat bantuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dapat memakai Pagelaran dari Sri Hinggil, dan Universitas Indonesia masih menempati gedung bekas pabrik candu.
Di samping gedung sekolah pemerintah, badan pendidikan swasta ikut pula membangun banyak gedung sekolah dengan jalan mengadakan pengumpulan dana, serta sumbangan dari orang tua murid. Dengan demikian banyak terjadi pinjam-meminjam atau pemakaian bersama ruang sekolah negeri dan swasta. Sedangkan bagi Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Universitas Airlangga, pembangunan gedung dapat terlaksana atas kerja sama dengan pihak luar negeri khususnya dengan Amerika Serikat. Begitu pula Institut Oceanologi di Ambon, pembangunan kompleksnya dibantu oleh Rusia. Demikianlah keadaan pendidikan dalam dua dasawarsa sesudah pengakuan kedaulatan (Desember 1949).

·         Partisipasi Pendidikan Swasta
Hasrat Masyarakat untuk berperan serta dalam pendidikan nasional antara lain diwujudkan melalui pendirian sekolah swasta yang bercirikan keagamaan seperti Muhammadiyah Ma’arif, Kristen, dan Katolik, dan bercirikan kebangsaan seperti Taman Siswa. Bentuk pendidikan swasta bukan hal baru karena pada zaman kolonial, Belanda mengizinkan mendirikan sekolah-sekolah swasta yang diselenggarakan oleh misi Katolik dan zending Protestan. Demikian juga, masyarakat Islam mendirikan lembaga pendidikan yang disebut madrasah. Dalam perkembangan kemudian lahir lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammadiyah.
Meskipun sudah dikeluarkan UU Nomor 4 Tahun 1950 dan Peraturan Bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama tanggal 16 Juli 1951 yang menjamin adanya pendidikan agama di sekolah negeri, namun orang tua murid merasakan apa yang diajarkan di sekolah belum mencukupi dan tetap menginginkan adanya pendidikan khusus yang bercirikan keagamaan.
Dalam masa kemerdekaan, yaitu pada periode 1951 sampai 1968/1969, lembaga swasta bermunculan dengan mendirikan sekolah-sekolah swasta yang baru maupun melanjutkan kegiatan yang telah ada sebelumnya. Sekolah tersebut selain bercirikan agama islam seperti Muhammadiyah, juga Kristen Protestan dan Katolik. Selain ciri khas keagamaan, terdapat sekolah swasta yang berciri khas kebangsaan, yaitu Taman Siswa (yang telah berdiri semasa penjajahan).
Sekolah Muhammadiyah yang semula hanya mengajarkan ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai dan sedikit ilmu umum yang diajarkan oleh guru pemerintah yang bersedia membantu, kemudian disempurnakan dan didirikan di daerah lain. Pertambahan jumlah sekolah seiring dengan tambahnya jumlah cabang Muhammadiyah yang dengan cepat tumbuh di banyak desa di seluruh Indonesia. Muhammadiyah selain mendirikan sekolah umum juga mendirikan sekolah umum agama seperti PGAP, PGAA, atau PGA [37]6 tahun, kemudian mendirikan perguruan tinggi yaitu FKIP Muhammadiyah dan Universitas Muhammadiyah. Dibandingkan dengan lembaga lainnya, sekolah-sekolah Muhammadiyah tidak terlalu mendapatkan subsidi dari Pemerintah karena lebih mengandalkan pada kemampuan, kemauan, dan darma bukti umat Islam dan rakyat sendiri.
Badan yang mengkoordinasikan sekolah-sekolah Kristen di seluruh Indonesia disebut Majelis Pusat Pendidikan Kristen (MPPK) di Indonesia yang didirikan pada tanggal 5 Juni 1950. Badan Kristen ini berupa Dewan atau Badan Musyawarah. Yang diterima menjadi anggota MPPK adalah Yayasan/Badan Hukum yang menyelenggarakan pendidikan Kristen serta yang menerima dan menyetujui Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), MPPK.
Setelah periode perjuangan fisik pada tahun 1945 sampai 1949, lembaga pendidikan Katolik berkembang pesat karena dukung oleh faktor-faktor seperti nama baik, dan banyak pejabat pernah memperoleh pendidikan di sekolah Katolik yang memberi kenangan baik kepada mereka.[38]












4.      Model Pembelajaran
Kurikulum SD
Kurikulum SMP
Kurikulum SMA
Kurikulum Sekolah Kejuruan
Kurikulum Sekolah Keguruan
Rencana Pendidikan SD 1964: (1) sekolah-sekolah yang menggunakan pengantar bahasa daerah dari kelas I sampai kelas III; dan (2) sekolah-sekolah yang menggunakan pengantar bahasa Indonesia mulai kelas I.

- program mata pelajaran atau bidang studi dikelompokkan sesuai dengan Pancawardhana menjadi lima kelompok bidang studi, yaitu perkembangan moral, kecerdasan, emosional-artistik, keperigelan/keterampilan, dan jasmani
Kurikulum SMP[1] 1962 disebut juga Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru
Sistem Pendidikan Pancawardhana.
penghapusan bagian A dan B pada kelas III SMP yang dimaksudkan untuk menghilangkan rasa rendah diri , dan menghilangkan rasa lebih tinggi pada siswa bagian B. Dengan demikian, semua siswa SMP menerima pelajaran yang sama dari kelas I sampai kelas III.

- penambahan dua mata pelajaran baru ke dalam Rencana Pelajaran SMP, yaitu Ilmu Administrasi dan Kesejahteraan Keluarga

- dimasukkannya jam krida dengan maksud memberikan kesempatan yang luas bagi para siswa untuk menemukan atau memupuk bakat dan minat mereka masing-masing

- pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan yang dimaksudkan untuk mengetahui sebanyak mungkin tentang diri pada siswa

Pengelompokan mata pelajaran dalam Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru dibagi menjadi empat kelompok,
Pertama, kelompok Dasar adalah kelompok mata pelajaran yang bertujuan untuk melahirkan warga negara Indonesia yang berjiwa Pancasila dan berjiwa patriot paripurna serta sehat dan kuat jasmaniah dan rohaniah, sebanyak 6 mata pelajaran.
Kedua, kelompok Cipta adalah kelompok mata pelajaran yang bertujuan untuk memberikan dasar-dasar pengetahuan sehingga dapat mewujudkan tenaga kejuruan yang ahli, sebanyak 9 mata pelajaran.
Ketiga, kelompok Rasa/Karsa adalah kelompok mata pelajaran yang bertujuan membiasakan anak didik memenuhi tuntutan sosial masyarakat Indonesia, supaya anak didik cinta kepada keindahan, sebanyak 4 mata pelajaran.
Keempat, Krida adalah mata pelajaran yang bertujuan untuk memupuk minat, bakat, dan kemampuan.

Kurikulum SMA[1] 1961 dikembangkan pada tanggal 6 sampai 13 November 1961
bertujuan untuk melakukan evaluasi dan penyempuraan terhadap usaha pembaharuan kurikulum yang telah dilakukan. Dalam pertemuan tersebut antara lain dihasilkan tiga buah kesimpulan sebagai berikut.
tujuan SMA ialah mengembangkan cita-cita hidup serta mengembangkan kemampuan dan kesanggupan sebagai anggota masyarakat dan mendidik tenaga ahli dalam perbagai lapangan sesuai dengan bakat dan minat masing-masing serta keperluan masyarakat sehingga tamatannya mempunyai dasar-dasar ilmu dan kecakapan seperlunya untuk mengembangkan diri terutama pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi dan lembaga masyarakat.
penggolongan mata pelajaran di SMA yaitu (1) Kelompok dasar (enam mata pelajaran) yaitu mata pelajaran yang diperlukan bagi seluruh siswa dalam rangka pembentukan warga negara: kewarganegaraan, agama, bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi, dan pendidikan jasmani dan kesehatan; (2) Kelompok khusus (tujuh mata pelajaran) yaitu mata pelajaran yang sesuai dengan bakat siswa dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi; (3) Kelompok penyerta (tiga mata pelajaran) yang dianggap perlu untuk memperluas mata pelajaran kelompok khusus; dan (4) Kelompok prakarya dan krida; krida adalah kegiatan bidang kebudayaan, kesenian, olahraga, dan permainan yang harus diselenggarakan di setiap sekolah berdasarkan instruksi Menteri P dan K tahun 1961.

Tujuan pendidikan adalah agar siswa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan sekaligus dipersiapkan untuk memasuki dunia kerja;
 - Titik berat ditekankan pada materi pelajaran
- Orientasi pengajaran pada guru artinya guru yang aktif dan siswa yang pasif;
- Pada umumnya komunikasi pengajaran hanya satu arah
- Orientasi kurikulum bervariasi antara satu jenis sekolah dengan jenis sekolah kejuruan lain
- Dokumen kurikulum hanya berbentuk struktur program dan pada jenis
sekolah itu dilengkapi dengan uraian mata pelajaran; - Teori dan praktik dilaksanakan secara terpisah dengan bobot praktik kejuruan berkisar antara 20% sampai 50% dari keseluruhan program pendidikan; dan
- Kurikulum sekolah kejuruan menggunakan istilah jurusan.
Kurikulum sekolah kejuruan 1968 yang dilaksanakan pada tahun 1968 adalah kurikulum untuk STM dan kursus-kursus seperti KPA, KKP, KKPA, dan KPAA[1]; sedangkan kurikulum untuk SKKP, SKKA, dan SMEA dilaksanakan pada tahun 1969. Khusus untuk sekolah kesenian, yaitu Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI), Sekolah Musik Indonesia (SMIND), Konservatori Karawitan (KOKAR), dan IINRI dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan.[1]

Sekolah Guru B (SGB) yang setingkat dengan SLTP dihapus dan dialihfungsikan menjadi SMTP jenis lain sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 22 Juli 1957 Sekolah Guru A (SGA) dirubah menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan Sekolah Guru Pendidikan Djasmani (SGPD) diubah menjadi Sekolah Guru Olahraga (SGO).

Lulusan SGA[1] dan lulusan SGPD pada tahun-tahun pertama ditempatkan untuk mengajar di SMTP, sedangkan lulusan SGTK ditempatkan untuk mengajar di TK Negeri dan Swasta, dan lulusan SGKP ditempatkan untuk mengajar di SKP.
SGA menjadi SPG dan diikuti dengan pengintegrasian SGTK ke SPG, kurikulum SPG mengacu pada kedua program tersebut, yaitu lulusan SPG dapat mengajar di SD dan TK, sedangkan SGO diprogramkan agar lulusannya mengajar di SD khusus untuk mata pelajaran olahraga/pendidikan jasmani dan tidak mengajar di SMTP.

Sumber : Analisis Peneliti dari buku Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996

Model pembelajaran yang dilaksanakan pada kurikulum 1964, Menggunakan sistem pendidikan pancawardhana di setiap tingkatan, baik SD,SMP, dan SMA. Susunan pembelajarannya pun masih sederhana mengedepankan perkembangan moral, kecerdasan, emosional-artistik, keperigelan/keterampilan, dan jasmani. Ditambah dengan dimasukkannya jam krida ditiap jenjang sekolah dengan maksud memberikan kesempatan yang luas bagi para siswa untuk menemukan atau memupuk bakat dan minat mereka masing-masing, selain itu pada jenjang sekolah dasar Bahasa darah masih dipergunakan sebagai Bahasa pengantar, dan Bahasa Indonesia sebagai pendamping.
 Pada dasarnya setiap jenjang pendidikan yang terjadi didalam kurikulum 1964 memiliki tujuan  pendidikan berdasarkan minat dan bakat siswa, maka didalam model pembelajarannya mengedepankan potensi, minat dan bakat peserta didik / siswa, dan model pembelajaran pun dibuat selaras untuk mewujudkan potensi siswa tersebut, selain itu kelompok mata pelajaran yang dibuat bertujuan untuk melahirkan warga negara Indonesia yang berjiwa Pancasila dan berjiwa patriot. Akan tetapi berbeda dengan sekolah kejuruan dan sekolah keguruan. Untuk sekolah kejuruan memiliki standar tersendiri dalam mengembangkan potensi peserta didik, karena Orientasi kurikulum bervariasi antara satu jenis sekolah dengan jenis sekolah kejuruan lain dan Teori dan praktik dilaksanakan secara terpisah dengan bobot praktik kejuruan berkisar antara 20% sampai 50% dari keseluruhan program pendidikan. Untuk sekolah keguruan, lebih banyak terjadi perubahan nama  ditahun 1964 seperti SGA menjadi SPG dan diikuti dengan pengintegrasian SGTK ke SPG, kurikulum SPG mengacu pada kedua program tersebut, yaitu lulusan SPG

a.      Angka Buta Huruf tahun 1960-1965
Setelah Proklamasi kemerdekaan baru usai dikumandangkan, pemerintah sukarno tidak hanya menyerukan mengangkat senjata melawan kolonialisme belanda, tetapi juga memerintahkan menentang pena dan buku untuk memberantas Buta huruf di kalangan rakyat indonesia. Dimulai pada tanggal 14 maret 1948, bung karno meluncurkan program Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Padahal saat itu indonesia masih berjibaku dalam perang melawan kolonialisme belanda.mengenai hal itu bung karno mengatakan “bukan saja kita menang di medan peperangan, tetapi juga didalam hal pemberantasan Buta huruf kita telah mencapai hasil jang sangat menjugemaken dan itu adalah pula salah satu great achivement.” Kemudian pemerintahan sukarno masih sempat menyelenggarakan kursus PBHdi 18.663 tempat yang berjumlah 881 tempat dengan 515 orang guru dan 33626 murid[39]. Pada tahun 1960 bungkarno kembali mengeluarkan komado. Indonesia harus terbebas dari buta huruf hingga tahun 1964. Seluruh rakyatpun dimobilisasi untung mengsukseskan ambisi tersebut banyak orang yang pandai Baca-Tulis dikerahkan untuk mengajar secara sukarela. Organisasi-organisasi mas, seperti partai komunis indonesia (PKI) Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan PGRI non-vaksentral teribat dalam kegiatan ini.
Hasilnya sungguh menabjubkan pada tanggal 31 desember 1964 semua penduduk indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di irian barat) dinyatakan bebas buta huruf. Yang patut dicatat dari pengalaman itu ada dua pertama, adanya komitmen kuat pemerintah saat itu untuk menempatkan pemberantasan buta huruf sebagai bagian dari perjuangan nasional yang tidak boleh dikesampingkan. Kedua adanya proses pelibatan dan mobilitasrakyat dalam mensukseskan pemberantasan  buta huruf .




Bagan 1.2
Sistem Persekolahan
UU No. 4 Tahun 1950 dan UU No. 22 Tahun 1961

Usia
Sekolah
Resmi                                                                                                  Sekolah
Universitas                 Institut                        Tinggi
23




Perguruan
Tinggi











Sarjana Agama Islam

Sarjana Muda Agama Islam

Sarjana




Akademik
22
21

Sarjana Muda


20
19
18
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)

Madrasah Aliyah (MA)


SMA


SMEA


SKKA


STM




SPG


SMOA


SPSA/
STIK


LAIN-
LAIN
17
16
15
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)

Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP)
Sekolah Kesejahteraan Keluarga Pertama (SKKP)

Sekolah Teknik (ST)
14
13
12




Sekolah Dasar



Madrasah Ibtidaiyah (MI)



Sekolah Dasar
(SD)
11
10
9
8
7
6
Pra-
Sekolah
Taman Kanak-kanak
(TK)
5

Dilihat dari bagan 1.2 tentang sistem persekolahan sekolah, menurut peraturan Undang-Undang No.4 tahun 1950, dan Undang-Undang no 22 tahun 1961, sistem sekolah pada waktu itu dibagi kedalam 5 jenjang. Dari jenjang yang awal sampai yang tinggi. Dari jenjang Pra-Sekolah, Sekolah Dasar selama 6 tahun, lalu naik ke jenjang tengah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) selama 3 tahun, lalu naik ke jenjang akhir Sekolah Lanjutan Tingkat Atas selama 3 tahun juga, dan terakhir di jenjang Perguruan Tinggi. Jenjang akhir inilah yang menghasilkan para sarjana-sarjana muda yang berpendidikan di Indonesia.
Jenjang awal atau yang disebut dengan masa Pra-Sekolah, diperuntukkan bagi anak-anak usia balita untuk mulai bisa belajar menghitung, menggambar, menuangkan ide kreatifitas mereka dalam bentuk apapun itu. Orang tua bisa mendaftarkan anak-anak mereka ke dalam Taman Kanak-kanak (TK). Anak-anak yang masuk di dalam jenjang TK ini, adalah anak-anak yang kurang lebih berusia 5-7 tahun.
Setelah anak-anak menginjakkan kaki diusia 7 tahun, bagi orang tua, menyekolahkan anaknya ke sekolah lanjut yang paling dasar, yaitu Sekolah Dasar (SD). Sekolah Dasar terbagi menjadi 2 pilihan. Sekolah Dasar Negeri, maupun Sekolah Dasar Swasta atau yang biasa disebut sebagai Sekolah Agama atau Madrasah Ibtidaiyah (MI). Bedanya Sekolah Dasar Negeri dengan Madrasah Ibtidaiyah ini adalah dari pembelajaran yang diberikan oleh sekolah kepada peserta didik. Sekolah Negeri lebih banyak menerapkan pelajaran umum, misalnya bahasa indonesia, bahasa inggirs, matematika, kesenian, ilmu sosial, ilmu alam, dan agama. Namun, pada sekolah dasar Ilmu agama yang diberikan tidaklah sepenuhnya seperti yang diajarkan oleh sekolah MI. Pada sekolah MI, ilmu agama lebih banyak diterapkan disini, misalnya nilai-nilai agama dan surat-surat pendek. Mereka lebih banyak diberi materi menghafal surat pendek, maupun nilai-nilai yang diajarkan oleh agama islam untuk bisa menopangi diri si anak dengan agama, dan makin mengenal agama mereka. Walaupun MI lebih banyak menerapkan pembelajaran berbasis agama islam, namun mereka tidak melupakan pelajaran umum yang ada di Sekolah Dasar Negeri pada umumnya. Pada jenjang Sekolah Dasar ini, anak-anak yang diperbolehkan bersekolah adalah anak yang berusia mulai dari 7 tahun-12 tahun. Dan Sekolah Dasar ini ditempuh selama 6 tahun.
Setelah anak lulus dari Sekolah Dasar, jenjang berikutnya adalah jenjang menengah yaitu Sekolah Lanjutkan Tingkat Pertama (SLTP). SLTP ini juga memiliki pembagian yaitu; Madrasah Tsanawiyah (MTs)  yaitu sekolah berbasis pendidikan agama, Sekolah Menengah Pertama (SMP),sekolah ini dibagi menjadi 2 pilihan. Sekola Menengah Pertama Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Swasta. Bagi anak yang menyukai atau ingin bersekolah dijurusan khusus, dapat dbagi menjadi 3, yaitu; Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Sekolah Kesejahteraan Keluarga Pertama (SKKP), dan Sekolah Teknik (ST). Dalam bersekolah di SLTP maupun SMP, anak-anak diharuskan menghabiskan waktu selama 3 tahun pada jenjang ini agar bisa melanjutkan ke jenjang akhir (SMA). Biasanya, anak yang sekolah pada jenjang ini berusia 12-15 tahun.
Tingkat akhir dari sekolah formal ini adalah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Jenjang ini terbagi ke dalam beberapa menurut jenis peminatan siswa. Terdapat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Sekolah ini adalah sekolah yang menerapkan sistem pembelajaran pada umumnya. Kedua, Madrasah Aliyah (MA), sekolah ini lebih banyak menerapkan ilmu agama dari pada ilmu-ilmu umum yang diajarkan pada SLTA. Ketiga ada SMA, sekolah ini tidak jauh berbeda dengan SLTP. Pembelajaran yang diterapkan jugalah pembelajaran pada umumnya saja. Keempat ada SMEA, ranah sekolah ini lebih berfokus pada pembelajaran Ekonomi saja. Berdasarkan peminatan siswa yang menyukai ilmu-ilmu perdagangan. Kelima ada SKKA (Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas), sekolah ini  berbasis kepada keluarga. Anak diharuskan mengenal keluarganya sejak menginjak keluarga, menyambung hubungan antar keluarga, sekolah dan masyarakat, karena menyangkut pembinaan keluarga, wanita, pria dan anak-anak. Keenam ada STM (Sekolah Teknik Mesin), biasanya yang bersekolah disini mayoritas murid laki-laki dari pada murid perempuan. Sekolah ini mengajarkan bagaimana cara kerja mesin, baik itu mesin elektro maupun mesin otomotif. Ketujuh ada SPG (Sekolah Pendidikan Guru), yang dimana murid yang bersekolah disini ialah yang bercita-cita ingin menjadi guru. Kedelapan ada SMOA, kesembilan ada SPSA/STIK atau disebut juga dengan Sekolah Pekerjaan Sosial atas) dan lain-lain. Pada jenjang sekolah akhir ini, murid diperuntukkan untuk bersekolah selama 3 tahun dengan batasan usia 15-17 tahun.
Jenjang tertinggi dari sekolah-sekolah diatas tadi, adalah Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi ini terbagi dalam 4 jenis perguruan. Perguruan tinggi berbasis Universitas, universitas negeri, universitas swasta, maupun universitas yang berbasis ilmu agama islam (Univ Muhammadiyah). Selain universitas, ada yang namanya Institut. Institut juga terbagi kedalam dua jenis, Institus Negeri maupun Institut Swasta. Setelah itu ada perguruan tinggi yang bernaa Sekolah Tinggi. Sekolah tinggi ini diperuntukkan untuk anak yang memiliki kemampuan dibidang tertentu. Misalnya pariwisata, dan ilmu-ilmu angkatan negara. Dan yang terakhir ada perguruan tinggi berbasis Akademik. Akademik perguruan, perawatan, dll. Dalam jenjang perguruan tinggi ini, anak diharapkan mampu berfikir kritis, dewasa, dan aktif. Sehingga menghasilkan lulusan sarjana yang pintar dan bekerja keras. Perguruan tinggi ini berbeda beda mengenai kelulusan nya untuk berapa tahun. Usia anak disini sudah menginjak dewasa dari usia 17-20 tahun.

KESIMPULAN
Kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan dalam usaha mengembangkan dan meningkatkan pendidikan, kurikulum pun mengalami perubahan, penyesuaian  dan perbaikan dalam jangka waktu tertentu. Kurikulum pendidikan rendah biasanya ditubjukkan kepada anak dengan tujuan mempersiapkan agar anak mengetahui dasar-dasar pengetahuan agar lebih siap menerima pengetahuan yang mengarah lebih tinggi, serta diperuntukkan untuk mengembangkan minat dan bakat. Pedidikan menengah diperuntukkan untuk meneruskan pendidikan ke yang lebih tinggi, dibekali dengan pendidikan dasar atau pendidikan jenjang yang rendah meneruskan pelajaran kearah pendidikan tinggi, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam untuk mempersiapkan dilapangan kerjanya sesuai minat dan bakatnya masing-masing serta kebutuhan masyarakat.
Pendidikan tinggi ditujukkan untuk menyiapkan  pelajar agar menjadi pimpinan dan dapat memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan teknologi berdasarkan ilmu yang telah ia dapatkan sesuai jenjang pendidikannya. Tentu pendidikan tinggi diharapkan pelajar akan menjadi tenaga yang ahli dan terampil dibidangnya.
Indonesia pada tahun 1960 menggunakan sistem politik demokrasi terpimpin yang dicetuskan oleh Soekarno, yang diawali dengan dicetuskannya kembali UUD 1945, menggantikan UUDS 1950. Dengan dikeluarkannya dekrit presiden maka kabinet sebelumnya yaitu Kabinet Djuanda dibubarkan diganti dengan kabinet kerja  dan membentuk MPRS.  Hasil pemilihan umum 1955, DPR tetap menjalankan tugasnya dengan landasan UUD 1945 dan menyetujui segala perombakan yang di lakukan oleh pemerintah hingga terbentuknya DPR baru yang pada tahun 1960 menjadi DPR-GR, yang tugasnya bahwa DPR-GR adalah pembantu Presiden/Mandataris MPRS dan memberi sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan oleh MPRS.
Pada pidato presiden Soekarno bertajuk penemuan Revolusi kita menjadi ajang dijadikan garis-garis besar haluan negara, dan dinamakan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol).  Akan tetapi partai-partai seperti NU dan PNI memiliki reaksi terhadap Manipol tersebut dan menuduh kabinet tersebut bertindak sewenang-wenang.  Hal ini menyebabkan koalisi atau gabungan beberapa partai dan membentuk Liga yang menuntut pembuatan DPR yang demokratis dan konstitusional.
Liga ini dilarang oleh Presiden Soekarno, dan Soekarno membuat Front nasional untuk membuat  dan mengambil kebijaksanaan khusus serta darurat untuk menyelesaikan revolusi. PKI pun turut andil dan menempatkan dirinya sebagai golongan yang menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. PKI secara sistematis berusaha memperoleh citra sebagai Pancasilais dan mendukung ajaran-ajaran Presiden Sukarno yang menguntungkannya. TNI pun bertindak dengan melakukan pengawasan terhadap PKI, namun Presiden Sukarno justru memerintahkan agar segala keputusan itu dicabut kembali. TNI pun bertindak dengan melakukan pengawasan terhadap PKI, namun Presiden Sukarno justru memerintahkan agar segala keputusan itu dicabut kembali.
Adanya gerakan G30 S/PKI ini membawa dampak buruk khususnya kondisi ekonomi di Indonesia, yang membuat lunturnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, karena dianggap tidak membawa  kondisi perekonomian kearah yang lebih baik. Bahkan pada tahun 1965 indonesia mengalami krisis, negara mengalami keterpurukan yang membuat rakyat sulit untuk mendapatkan kebutuhan pokok, dan terjadinya inflasi besar-besaran membuat harga semua kebutuhan khususnya kebutuhan pokok sangat tinggi. Inilah yang membuat masyarakat marah pada pemerintahan orde lama saat itu. Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya yang diakibatkan sistem pemerintahan Indonesia yang mengarah pada komunis.
Sejak kegagalan tersebut terjadi  Dasar Pendidikan di Indonesia pada Periode ini tetap berlandaskan pancasila. Dasar pendidikan ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 1945 ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Presiden membuat keputusan mengenai nama dan rumusan pendidikan nasional, yaitu Tujuan pendidikan Nasional. tujuan pendidikan yang berlandaskan pada Manipol-Usdek ini tidak bertahan lama. Dengan meletusnya peristiwa G30 S/ PKI tahun 1965, tujuan pendidikan ini ditinggalkan. Masyarakat Indonesia mulai sadar akan maksud-maksud politis PKI yang tercantum dalam tujuan tersebut dengan menggunakan Pancasila sebagai perisai.
Realisme sosialis sebagai doktrin komunis dibidang seni dan sastra diusahakan untuk menjadi doktrin di Indonesia juga. Realisme sosialis sebagai doktrin komunis dibidang seni dan sastra diusahakan untuk menjadi doktrin di Indonesia juga. pelaksanaan doktrin tersebut lebih represif dari pada persuasive seperti adanya larangan bagi pemusik-pemusik pop untuk memainkan lagu-lagu ala imperialis barat. Peristiwa yang paling diingat oleh masyarakat pada bidang budaya adalah heboh mengenaiManifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI). Manifes Kebudayaan itu tidaklah baru atau luar biasa. Yang diungkap adalah konsepsi humanisme universal yang timbul dalam masyarakat liberal yang menekankan kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif. PKPI dengan manifest kebudayaan untuk sama-sama dihancurkan. Serangan terhadap manifest kebudayaan terus dilancarkan melalui tulisan yang semakin tajam dalam Harian Rakyat, Bintang Timur dan Zaman Baruberhasilllah PKI memukul manifest kebudayaan akan tetapi PKPI tidak dapat mereka hancurkan. Benteng Pancasila tidak dapat ditaklukkan oleh PKI selain itu para sastrawan Indonesia mendapatkan pelajaran berharga bahwa untuk menghadapi komunisme diperlukan juga senjata berupa organisasi.
Partisipasi pada pendidikan swasta, diwujudkan pada sekolah berbasis agama atau bercirikan agama, pendidikan nasional antara lain diwujudkan melalui pendirian sekolah swasta yang bercirikan keagamaan seperti Muhammadiyah Ma’arif, Kristen, dan Katolik, dan bercirikan kebangsaan seperti Taman Siswa. Bentuk pendidikan swasta bukan hal baru karena pada zaman kolonial, Belanda mengizinkan mendirikan sekolah-sekolah swasta yang diselenggarakan oleh misi Katolik dan zending Protestan. seperti agama islam yang mendirikan madrasah dan melalui muhammadiyah di sempurnakan melalui pendidikannya, jika pelajaran agama diajarkan oleh kiyai, dan untuk pelajaran umum diajarkan oleh guru pemerintahan yang bersedia mengajar, sedangkan untuk umat kristiani membuat Majelis Pusat Pendidikan Kristen ( MPPK)
Kurikulum SMP dalam kurun waktu tidak sampai 20 tahun dari tahun 1951-1958 Sekolah Menengah Pertama telang mengganti kurikulum sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1962-1967 dan 1967 baru dilaksanakan tahun1968. Untuk kurikulum SMP ini disesuaikan dengan pancawardhana, dengan nama  Kurikulum Rencana pelajaran SMP Gaya Baru, Kurikulum ini mengalami perubahan penting khususnya pada penambahan mata pelajaran ilmu administrasi dan kesejahteraan keluarga. Pengelompokkan mata pelajaran terbagi menjadi empat, kelompok Dasar, kelompok Cipta, kelompok Rasa/Karsa, Krida. dimasukkannya jam krida dengan maksud memberikan kesempatan yang luas bagi para siswa untuk menemukan atau memupuk bakat dan minat mereka masing-masing di bawah bimbingan yang teratur dari guru, dan selanjutkan untuk mengembangkan karya yang berguna bagi siswa kelak dalam kehidupan masyarakat.
Pada tahun1967 rencana Pelajaran SMP Gaya Baru mengalami perubahan yaitu penyempurnaan kurikulum, dintaranya mengubah nama rencana Pelajaran menjadi Rencana Pendidikan karena mengikuti perkembangan dan pemerintahan Orde Baru. Dan pada tahun 1968 kurikulum Rencana Pendidikan dilaksanakan dengan memiliki tiga program yang disempurnakan yaitu Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, kelompok ini berfungsi untuk membina dan mempertinggi moral Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta membina jasmani yang sehat dan kuat.
Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar, pemikiran kelompok mata pelajaran ini ialah bahwa akal pikiran merupakan salah satu karunia Tuhan yang menempatkan kedudukan manusia di atas makhluk lain di dunia. Dengan sifat inilah maka manusia mampu mengetahui dan mengenal lingkungannya baik mengenai bentuk, sifat, maupun hukum-hukumnya sehingga dapat memanfaatkannya untuk mempertinggi kesejahteraan hidup. Dengan demikian semua pengetahuan dan pengertian yang diperoleh dapat mendorong manusia untuk mengakui dan meyakini adanya kekuatan yang mengatur hukum alam, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus, semua mata pelajaran yang diberikan di atas tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling menunjang dan melengkapi dalam mencapai tujuan pendidikan di SMP. dan Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus; dasar pemikiran diadakannya kelompok mata pelajaran ini ialah bahwa di SMP tidak cukup hanya diberikan pendidikan mental, spiritual, fisik, dan kecerdasan saja, tetapi diperlukan juga pendidikan keterampilan yang praktis, pendidikan emosional, dan pendidikan artisik serta sosial Mata pelajaran yang termasuk dalam kelompok ini ialah Administrasi (memberikan keterampilan untuk menyelenggarakan administrasi sederhana dalam kehidupan sehari-hari), Prakarya (memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan mengembangkan bakatnya masing-masing), Pendidikan Kesenian (memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan bakat seni mereka, dengan harapan kesenian baik daerah maupun nasional dapat dipupuk dan dilestarikan).
Untuk SMA Kurikulum SMA 1952 dilaksanakan mulai tahun 1952 sampai tahun 1961, kurikulum 1961 dilaksanakan mulai tahun 1962 sampai 1964, kurikulum 1964 dilaksanakan mulai tahun 1965 sampai tahun 1968, sedangkan kurikulum 1968 dilaksanakan mulai tahun 1969. Awalnya pada tahung 1951 kurikulum SMA hanya digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu Pertama, rumusan yang tepat mengenai tujuan SMA ialah mengembangkan cita-cita hidup serta mengembangkan kemampuan dan kesanggupan sebagai anggota masyarakat dan mendidik tenaga ahli dalam perbagai lapangan sesuai dengan bakat dan minat masing-masing, Kedua, penggolongan mata pelajaran di SMA dibagi menjadi empat kelompok yang berkaitan dengan lainnya, yaitu (1) Kelompok dasar (enam mata pelajaran) yaitu mata pelajaran yang diperlukan bagi seluruh siswa dalam rangka pembentukan warga negara: kewarganegaraan, agama, bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi, dan pendidikan jasmani dan kesehatan; (2) Kelompok khusus (tujuh mata pelajaran) yaitu mata pelajaran yang sesuai dengan bakat siswa dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi; (3) Kelompok penyerta (tiga mata pelajaran) yang dianggap perlu untuk memperluas mata pelajaran kelompok khusus; dan (4) Kelompok prakarya dan krida; krida adalah kegiatan bidang kebudayaan, kesenian, olahraga, dan permainan yang harus diselenggarakan di setiap sekolah berdasarkan instruksi Menteri P dan K tahun 1961. Dirasa kurang memperhatikan keterampilan siswa, Kemudian ditahun 1961 disempurnakan kembali menjadi nama Kurikulum SMA Gaya Baru, penyempurnaan ini dikhususkan pada mata pelajaran yang lebih memperhatikan Krida atau menunjukkan keterampilan siswa,  yang ketiga kemudian mengubah jurusan A, B, dan C menjadi ilmu sosial, Ilmu alam, dan Budaya .
Kurikulum pendidikan menengah Kejuruan secara intensif baru dilaksanakan antara tahun 1964 sampai 1968. Kurikulum untuk sekolah kejuruan dinamakan Jurusan, Orientasi pengajaran lebih ditekankan pada guru yang aktif dan siswa yang pasif, selain itu teori dan praktik dilakukan secara terpisah. Di tahun 1969 direktorat jendral Kebudayaan mengembangkan sekolah kebudayaan baik senirupa dan seni musik.  Sekolah keguruan pada tahun 1961, mengalami banyak perubahan khususnya dari pemberian nama dan lebih memperhatikan penempatan pada lulusan dari sekolah keguruan tersebut dimana para lulusan tersebut mengajar, seperti lulusan SGA dan lulusan SGPD pada tahun-tahun pertama ditempatkan untuk mengajar di SMTP, sedangkan lulusan SGTK ditempatkan untuk mengajar di TK Negeri dan Swasta, dan lulusan SGKP ditempatkan untuk mengajar di SKP. Karena dialihfungsikan dan  diubahnya sekolah keguruan ini, maka hal ini membuat sekolah keguruan tersebut mengeubah kurikulumnya.
















INDEKS
1.      AD (Anggaran Dasar)
2.      APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)
3.      ART (Anggaran Rumah Tangga)
4.      BPS (Badan Pusat Statistik)
5.      CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif)
6.      CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia)
7.      CIA (Central Intelligent Agency)
8.      DPA (Dewan Pertimbangan Agung)
9.      DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
10.  DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong)
11.  FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan)
12.  GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara)
13.  GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia)
14.  G30S-PKI (Gerakan 30 September-Partai Komunis Indonesia)
15.  IMF (Dana Moneter Internasional)
16.  IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia)
17.  KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
18.  KKP (Kursus Karyawan Perusahaan)
19.  KKPA (Kursus Karyawan Perusahaan Tingkat Atas)
20.  KKPI (Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia)
21.  KOKAR (Konservatori Karawitan)
22.  KPA (Kursus Pendidikan Akhir)
23.  KPRI (Keputusan Presiden Republik Indonesia)
24.  KSSR (Kurikukulm Standar Sekolah Rendah)
25.  KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
26.  MANIPOL USDEK (Manifesto Politik-Undang-undang Sadar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia)
27.  MPPK (Majelis Pusat Pendidikan Kristen)
28.  MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara)
29.  NU (Nadhlatul Ulama)
30.  PKPI (Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia),
31.  PBH (Pemberantasan Buta Huruf)
32.  PBB (Persyerikatan Bangsa-Bangsa)
33.  PBR (Pemimpin Besar Revolusi)
34.  PD dan K (Pendidikan Dasar dan Kebudayaan)
35.  PGA (Pendidikan Guru Agama)
36.  PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama)
37.  PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia)
38.  PKI (Partai Komunis Indonesia)
39.  PNI (Partai Nasional Indonesia)
40.  PRI (Partai Rakyat Indonesia)
41.  PSII (Partai Serikat Islam Indonesia)
42.  PTIP (Perguruan Tinggi dan ILmu Pengetahuan)
43.  SD (Sekolah Dasar)
44.  SGA (Sekolah Guru A)
45.  SGB (Sekolah Guru B)
46.  SGO (Sekolah Guru Olahraga)
47.  SGPD (Sekolah Guru Pendidikan Djasmani)
48.  SGTK (Sekolah Guru Taman Kanak-kanak)
49.  SISKO (Standar Isi dan Standar Kompetensi)
50.  SKKA (Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas)
51.  SKKP (Sekolah Kejuruan dan Keterampilan Pertama)
52.  SMA (Sekolah Menengah Atas)
53.  SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas)
54.  SMIND (Sekolah Musik Indonesia)
55.  SMP (Sekolah Menengah Pertama)
56.  SMTP (Sekolah Menengah Tingkat Pertama)
57.  SPG (Sekolah Pendidikan Guru)
58.  SSRI ( Sekolah Seni Rupa Indonesia)
59.  TAP (Ketetapan), MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara)
60.  TK (Taman Kanak-Kanak)
61.  TKI (Tenaga Kerja Indonesia)
62.  TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat)
63.  UU (Undang-Undang)
64.  UUD (Undang-undang Dasar)
65.  UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara)
















DAFTAR PUSTAKA

BUKU

·         Pengantar Sosiologi Kurikulum. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011
·         Nasution. 2006. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta; PT Bumi Aksara, h. 23
·         Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996
·         Dr. Hj. Esti Ismawati, M.Pd, Telaah Kurikulum dan Pengembangan Bahan Ajar, 2012. Yogyakarta ; Ombak, h. 7

Internet
·         Dalam modul PJJ PGSD http://pjjpgsd.dikti.go.id
·         File://Final_Draft_Buku_Sejarah_Kurikulum_SMP.pdf hal 70-75
·         http://www.relawanrumahbaca.com/berita-134-indonesia-belum-merdeka-dari-buta-huruf.html



[1] Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi Reguler, angkatan 2013.
[2] Nasution. 2006. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta; PT Bumi Aksara, h. 23
[3] Wilayah RI (Republik Indonesia), Dalam UU (Undang-Undang)
[5] Wilayah RI (Republik Indonesia), MANIPOL USDEK (Manifesto Politik-Undang-undang Sadar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia), MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara)
[7] Depaertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lima Puluh tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Indonesia, 1996) Hal. 109
[8] MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat  Sementara), KPRI (Keputusan Presiden Republik Indonesia), MANIPOL-USDEK (Manifesto Politik-Undang-undang Sadar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia)
[9] Dr. Hj. Esti Ismawati, M.Pd, Telaah Kurikulum dan Pengembangan Bahan Ajar, 2012. Yogyakarta ; Ombak, h. 7
[10] MANIPOL USDEK (Manifesto Politik-Undang-undang Sadar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia)
[11] Dalam modul PJJ PGSD http://pjjpgsd.dikti.go.id diakses tanggal 13 November 2015.
[12] UUD (Undang-Undang Dasar), UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara), MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), DPA (Dewan Pertimbangan Agung)
[13] https://www.academia.edu/9366322/Browse_Home diakses pada 07 November 2013 pukul 14:45 wib
[16] MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan Pertimbangan Agung), Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR)
[17] Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), PBB (Persyerikatan Bangsa-Bangsa), NU (Nadhlatul Ulama), PNI (Partai Nasional Indonesia), PRI (Partai Rakyat Indonesia), PSII (Partai Serikat Islam Indonesia), IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia)
[19] https://books.google.co.id/books?isbn=9794074128 diakses pada 07 November 2015 pukul 19.30 wib
[20] MPPR (Garis-garis Besar Haluan Negara), PBR (Pemimpin Besar Revolusi), DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), PKI (Partai Komunis Indonesia), TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat), G30S-PKI (Gerakan 30 September-Partai Komunis Indonesia), TKI (Tenaga Kerja Indonesia)
[21] IMF (Dana Moneter Internasional), APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), PKI (Partai Komunis Indonesia).
[24] MANIPOL-USDEK (Manifesto Politik-Undang-Undang Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpempin dan Kepribadian Indonesia)
[25] Depaertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lima Puluh tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Indonesia, 1996) Hal. 109
[26] PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), PD dan K (Pendidikan Dasar dan Kebudayaan), PKI (Partai Komunis Indonesia)
[27] Ibid., h. 110
[28]CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), BPS (Badan Pusat Statistik), CIA (Central Intelligent Agency), KKPI (Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia), PKPI (Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia).
[31] PKI (Partai Komunis Indonesia), KKPI (Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia), KSSR (Kurikukulm Standar Sekolah Rendah), PTIP (Perguruan Tinggi dan ILmu Pengetahuan)
[32] Ibid web ??? sama kaya diatas
[33] PKI (Partai Komunis Indonesia), PKPI (Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia)
[34] File://Final_Draft_Buku_Sejarah_Kurikulum_SMP.pdf hal 70-75
[35] http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_2_89.htm diakses pada 19 November 2015 pukul 22.42 wib
[36] http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_12_1954.pdf diakses pada 19 Npve,ber 2015 pukul 22.48 wib
[37] PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama), PGA (Pendidikan Guru Agama), FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan), MPPK (Majelis Pusat Pendidikan Kristen), AD (Anggaran Dasar), ART (Anggaran Rumah Tangga), SD (Sekolah Dasar)
[38] Ibid Hal. 121-122
[39] http://www.relawanrumahbaca.com/berita-134-indonesia-belum-merdeka-dari-buta-huruf.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sosiologi Berparadigma Ganda

Rahayu Wilujeng Pendidikan Sosiologi A/ 2013 Paradigma dalam Sosiologi Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), paradigma diartikan sebagai model atau kerangka berpikir dalam ilmu pengetahuan [1] . Paradigma ini ditentukan dari dua aspek pendukung yakni perspektif intelektual dan perspektif sosial, kedua aspek inilah yang akhirnya membentuk kerangka atau model teoritis dalam kajian ilmiah. Suatu ilmu pengetahuan pada dasarnya selalu memiliki paradigma atau pandangan, namun paradigma tidak diartikan sebagai suatu teori ilmiah atau inti dari pokok pembahasan melainkan pandangan yang berisikan tentang teori-teori ilmiah tersebut. Paradigma bisa didefinisikan oleh suatu pencapaian ilmiah sebagai contoh atau sampel dimana sejumlah kesulitan ilmiah diatur dan dipecahkan dengan menggunakan pelbagai teknik konseptual dan empiris [2] . Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam satu cabang ilmu pengetahuan nampaknya dimungkinkan adanya beberapa paradigma. Paradigma in

Analisis kasus pembunuhan Angeline melalui teori Kontrol Sosial

1. Kasus Kejahatan : Pembunuhan  berencana Derita Terpendam di Balik 'Diam' Angeline [1] Oleh  Dyah Puspita Wisnuwardani on 22 Jun 2015 at 20:17 WIB Liputan6.com, Denpasar - Isak tangis dan emosi pecah dari para guru SDN 12 Kesiman, Sanur, Denpasar, Bali, ketika kantong berwarna oranye dikeluarkan oleh polisi dari sebuah rumah di Jalan Sedap Malam Nomor 26 Denpasar, Rabu 10 Juni 2015.  "Angeline...Angeline," panggil seorang guru wanita dan anak-anak dari sekolah itu sembari menangis sesenggukan menatap kantong jenazah yang membelah kerumunan warga. Di dalam kantong itulah tubuh mungil Angeline, bocah berusia delapan tahun yang sebelumnya dikabarkan hilang sejak Sabtu 16 Mei 2015, terbujur kaku. Tubuhnya kemudian diangkut ke dalam mobil ambulans untuk dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar, guna keperluan otopsi. "Kami menemukan ada kekerasan pada tubuh korban yang utamanya di daerah wajah dan leher berupa kekerasan tumpul," kat

Essay kreasi literasi di era digital

Restrukturisasi Masyarakat melalui pemanfaatan e-library Oleh : Rahayu Wilujeng Memasuki dekade kedua abad 21, everything is digital. Digitalisasi merambah ke setiap aspek kehidupan manusia, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga ke pengelolaan sebuah negara. Begitu juga dengan Indonesia, arus globalisasi menuntut Indonesia untuk berpartisipasi dalam euforia era digital ini. Sebagai negara berkembang, Indonesia diharapkan mampu memanfaatkan teknologi digital untuk mem-boost kemajuan Indonesia lebih dan lebih lagi, terutama dalam dunia pendidikan. Karena sebagai pondasi utama sebuah negara, pendidikan berada dalam posisi yang sangat sentral untuk menentukan masa depan bangsa. Mau dibawa kemana bangsa ini sangat ditentukan oleh bagaimana minat masyarakatnya terhadap baca-tulis. Literasi sebagai jantung pendidikan akan sangat penting dalam mendukung imajinasi dan kreativitas masyarakat. Oleh karena itu, literasi sangat berperan dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Peningk