PENCARIAN
IDEOLOGI BANGSA DALAM KURIKULUM 1964
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI 2013
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI JAKARTA
2015
KURIKULUM 1964
Oleh: Rahayu Wilujeng[1]
Abstrak
Kurikulum merupakan
rancangan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran, Kurikulum di
Indoenesia tidak pernah lepas kaitannya dengan perpolitikkan, terutama pasca
kemerdekaan Indonesia (1960)an yang saat itu Indonesia sedang membangun Negeri
sehingga masih mencari ideologi bangsa,
hal ini berpengaruh pada sistem pendidikan yang berganti kebijakan dan
kurikulumnya. kurikulum dalam rentang waktu tertentu memang diubah untuk
menyesuaikan keadaan yang ada. Bagaimana kurikulum 1960-an memberikan mata
pelajaran yang didapat, model pembelajaran, penjurusan, sekolah kejurusan di
era tersebut.
Kata Kunci : Kurikulum,
Ideologi, Kebijakan, Model Pembelajaran
PENDAHULUAN
Sejarah kurikulum
pendidikan di indonesia kerab berubah setiap ada pergantian menteri pendidikan,
sehingga mutu pendidikan indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang
jelas dan mantap. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari
terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya,ekonomi,dan iptek dalam
masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, Kurikulum sebagai seperangkat
rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan
perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang
berdasarkan landasan yang sama yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaannya pada
penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikan.
Dasar pendidikan di Indonesia
pada periode 1964 tetap berlandaskan pancasila. Dasar pendidikan ini tidak
mengalami perubahan sejak tahun 1945 ketika bangsa indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya. meskipun selama periode ini indonesia sudah menggunakan tiga
undang-undang dasar, tetapi setiap UUD tersebut pancasila tetap dijadikan
falsafah negara, dengan demikian secara otomatis menjadi dasar pendidikan di
indonesia. Tiap kurikulum mencerminkan
keinginan, cita-cita, tuntutan, dan kebutuhan masyarakatnya[2].
Begitu pula di Indonesia, tujuan pendidikan yang akan dicapai dalam periode ini
didasarkan pada undang-undang no.4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan
dan pengajaran di sekolah yang semula hanya berlaku di wilayah RI [3](dulu).
Dalam UU No. 4 Tahun 1950, Bab II, Pasal 3 ditetapkan bahwa tujuan pendidikan
dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah
air.
Kurikulum sebagai
pendukung pendidikan juga merupakan perangkat yang strategis untuk menyemaikan
kepentingan dan membentuk konsepsi dan perilaku individu warga. Kurikulum
terakhir pada masa orde lama adalah kurikulum 1964. Masa orde baru lahir 4
kurikulum. Menurut Bourdieu, setiap tindakan pedagogis yang bertujuan untuk
memproduksi kebudayaan dapat disebut kekerasan simbolis yang sah. Kekuatan
kekerasan ini berasal dari hubungan kekuasaan sesungguhnya yang disembunyikan
oleh kekuatan pedagogis. Kurikulum yang berlaku dalam suatu Negara, termasuk
Indonesia, sering digunakan sebagai sarana indoktrinasi dari suatu system
kekuasaan. Dunia pendidikan memang
seringkali menganggap bahwa kurikulum adalah soal teknis belaka. Namun
sebenarnya, berbicara tentang kurikulum adalah berbicara tentang sumber-sumber
kekuasaan dalam dunia pendidikan.
Kurikulum adalah
program dan isi dari suatu system pendidikan yang berupaya melakukan proses
akumulasi ilmu pengetahuan antar genarasi dalam suatu masyarakat.
Dalam sebuah masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu merisaukan. Namun dilihat dari konteks masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, kurikulum adalah pertarungan antar kekuasaan yang hidup dalam suatu masyarakat. Kelompok masyarakat yang dominan akan mempertahankan kurikulum untuk mempertahankan dominasinya melalui system persekolahan. Sampai sejauh ini pendidikan di Indonesia menggunakan satu kurikulum, yaitu kurikulum nasional yang dipakai sebagai acuan tunggal. Semua lembaga pendidikan formal di negeri ini, baik dikota besar, pelosok gunung, maupun dipinggiran pantai, memiliki kurikulum yang sama. Dengan demikian, proses pendidikan yang diterapkan adalah dalam upaya membentuk keseragaman berfikir. Melalui proses pendidikan nasional, generasi muda Indonesia dibentuk oleh system pendidikan yang mengacu pada politik Etatisme.
Dalam sebuah masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu merisaukan. Namun dilihat dari konteks masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, kurikulum adalah pertarungan antar kekuasaan yang hidup dalam suatu masyarakat. Kelompok masyarakat yang dominan akan mempertahankan kurikulum untuk mempertahankan dominasinya melalui system persekolahan. Sampai sejauh ini pendidikan di Indonesia menggunakan satu kurikulum, yaitu kurikulum nasional yang dipakai sebagai acuan tunggal. Semua lembaga pendidikan formal di negeri ini, baik dikota besar, pelosok gunung, maupun dipinggiran pantai, memiliki kurikulum yang sama. Dengan demikian, proses pendidikan yang diterapkan adalah dalam upaya membentuk keseragaman berfikir. Melalui proses pendidikan nasional, generasi muda Indonesia dibentuk oleh system pendidikan yang mengacu pada politik Etatisme.
Melalui kurikulum
nasional, pendidikan di Indonesia telah menjalani proses yang amat berlainan
dengan perkembangan kebudayaan sehingga pendidikan di Indonesia bukan lagi menjadi
persoalan kebudayaan, melainkan lebih sebagai kepentingan politik disatu sisi,
dan kepentingan ekonomi di sisi lain. Dengan demikian, jika orang masuk
kelorong pendidikan di Indonesia, ia tidak menemukan proses berfikir kritis,
tetapi justru menjadi terasing dari lingkungan sosialnya.
Menurut seorang pakar
pendidikan dari Malanag, T Raka Joni, ketersampaian pesan pada kurikulum bukan
bergantung pada materi pesan yang ingin disampaikan, melainkan lebih pada cara
menyampaikan pesan (the process is the content, the medium is the message)[4].
Akan tetapi, ini justru tidak tepat bila disampaikan hanya dalam kerangka pikir
content transmission model.
Identitas dapat dicapai
dengan penyusunan pengalaman belajar yang dikontekstualisasi dengan kebutuhan
setempat. Di sini kreatifitas dan
keberpihakan guru menjadi sangat penting. Sekolah bisa menjadi arena (field)
anak-anak untuk membentuk habitus (kebiasaan) baru tanpa didominasi kepentingan
sentralistis yng sebenarnya secara diam-diam masih ditenggarai termuat dalam
standar isi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar yang disusun secara
terpusat. Dengan demikian, kebebasan mengembangkan pengalaman belajar itu
sungguh terjadi. Tujuan pendidikan yang sesuai kerangka Visi Indonesia
2030-menciptakan masyarakat maju, sejahatera, mandiri, dan berdaya saing
tinggi-dapat diarahkan
Berbicara mengenai
latar belakang kurikulum 1960 mengalami proses yang cukup panjang. Pada tahun
1954 dikeluarkan Undang-undang no. 12 tentang dasar –dasar pendidikan dan
pengajaran disekolah Undang-Undang ini merupakan pemberlakuan kembali
Undang-Undang No.4 Tahun 1950 untuk seluruh wilayah RI [5]. Ketetapan
yang tercantum didalamnya sama dengan ketetapan yang tercantum dalam
Undang-Undang No. 4 Tahun 1950. Demikian pula dengan tujuan pendidikan yang
tercantum dalam Bab II Pasar 3 pada
kedua Undang-Undang tersebut
Sejak tahun 1960 Indonesia telah berada di bawah gelora Manipol-Usdek
yang seolah-olah menjadi panglima dalam kehidupan politik indonesia dan dalam
bidang kehidupan lain. Bidang pendidikan pun tak luput dari pengaruh tersebut.
Keputusan Presiden No.145 tahun 1965 merumuskan tujuan nasional pendidikan
indonesia adalah cita-cita utama setiap usaha pendidikan di indonesia sesuai
dengan Manipol-Usdek[6].
Manusia sosialis indonesia adalah cita-cita utama setiap usaha pendidikan di
indonesia, sedangkan pepentingan kehidupan pribadi agar di nomerduakan. Dalam
keputusan Presiden RI No.145 Tahun 1965 tentang nama dan rumusan induk sistem
pendidikan nasional, Tujuan ditetapkan sebagai berikut.
“Tujuan
pendidikan nasional baik yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun oleh
pihak swasta, dari pendidikan prasekolah sampai pendidikan tinggi, supaya
melahirkan warga negara sosialis indonesia, adil dan makmur baik spiritual
maupun materiil dan yang berjiwa pancasila yaitu a)Ketuhanan yang maha Esa. b)
peri kemanusiaan yang adil dan beradap c) kebangsaan d) kerakyatan dan e)
keadilan sosial,seperti dijelaskan dalam Manipol/Usdek” [7]
Tujuan nasional pendidikan
Indonesia tahun 1966 dirumuskan melalui ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966
tentang agama, pendidikan, dan kebudayaan. Ketetapan tersebut diperlukan untuk
mengganti Tujuan Nasional Pendidikan Tahun 1965 yang sudah tidak sesuai dengan
kondisi keadaan kehidupan Orde baru. Dalam ketetapan MPRS No. XXVII, tujuan nasional
Pendidikan Indonesia tercantum dalam Bab 1 Pasal 3 yang menetapkan bahwa tujuan
pendidikan adalah membentuk Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan
seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945`
Fungsi
kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendididkan idak lain merupakan alat
untuk mencapai tujuan pendididkan.dalam
hal ini, alat untuk menempa manusia yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Pendidikan suatu bangsa dengan bangsa lain tidak akan sama karena
setiap bangsa dan Negara mempunyai filsafat dan tujuan pendidikan tertentu yang
dipengaruhi oleh berbagai segi, baik segi agama, idiologi, kebudayaan, maupun
kebutuhan Negara itu sendiri.
Sesuai
dengan Keputusan MPRS[8]
No. II/MPRS/1960 telah dirumuskan mengenai manusia sosialis Indonesia sebagai
suatu bagian dari sosialisme Indonesia yang menjadi tujuan pembangunan
nasional, yakni tata masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. (Tilaar,
1995:254). Sebagai alat yang berfungsi untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan,
kurikulum suatu sekolah berisi uraian tentang jenis-jenis program apa yang
diselenggarakan sekolah tersebut, bagaimana menyelenggarakannya, dan
perlengkapan apa yang dibutuhkan[9]. Maka,
pelaksanaan keputusan tersebut di sekolah diimplementasikan ke dalam kurikulum
yang dapat menjiwai keputusan MPRS tersebut. Melalui Keputusan Presiden
Republik Indonesia No, 145 Tahun 1965 tentang Nama dan Rumusan Induk Sistem
Pendidikan Nasional antara lain dirumuskan mengenai pembinaan manusia Indonesia
sebagai manusia Indonesia baru yang berjiwa Pancasila Manipol/USDEK dan sanggup
berjuang untuk mencapai cita-cita tersebut
·
Manpower yang cukup untuk
melaksanakan pembangunan
·
Kepribadian kebudayaan nasional yang
luhur
·
Ilmu dan teknologi yang tinggi
·
Pergerakan massa aksinya seluruh
kekuatan rakyat dalam pembangunan dan revolusi
·
Sesuai dengan Ketetapan MPRS No.
II/MPRS/1960 maka pendidikan berfungsi sebagai berikut.
·
Pendidikan sebagai Pembina manusia
Indonesia baru yang berakhlak tinggi
·
Pendidikan sebagai produsen tenaga kerja
dalam semua bidang dan tingkatan
·
Pendidikan sebagai lembaga pengembangan
kebudayaan nasional
·
Pendidikan sebagai lembaga pengembangan
ilmu pengetahuan teknik dan fisik/mental
·
Pendidikan sebagai lembaga penggerak
seluruh kekuatan rakyat.
Kurikulum
1960 ini erat kaitannya dengan situasi politik di Indonesia pada zaman itu
sehingga dirumuskan bahwa “pendidikan sebagai alat revolusi dalam suasana
berdikari mengharuskan pembantingan stir dalam segala bidang khususnya bidang
pendidikan” (Tilaar, 1995:255). Maka berdasarkan kebijakan pemerintah tersebut,
tujuan pendidikan di mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi ialah
melahirkan warga negara yang sosialis Indonesia yang susila, bertanggung jawab atas
terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, baik spiritual
maupun material dan yang berjiwa Pancasila.isi moral pendidikan nasional ilah
Pancasila Manipol/USDEK[10].
Kemudian, Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 19 Tahun 1965 tentang
Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila menjelaskan sistem pendidikan
nasional terdiri atas:
·
Pendidikan Biasa (Pendidikan
Pra-Sekolah, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi)
·
Pendidikan Khusus
·
Pendidikan Luar Biasa
Rencana
Pendidikan 1964 melahirkan Kurikulum 1964 yang menitik beratkan pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang kemudian dikenal
dengan istilah Pancawardhana.[11]
Disebut Pancawardhana karena lima kelompok
bidang studi, yaitu kelompok perkembangan moral, kecerdasan,
emosional/artisitk, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pada saat itu
pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional
praktis, yang disesuaikan dengan perkembangan anak.
PEMBAHASAN
1.
Konteks
Sosial, Ekonomi, Politik, dan Kebudayaan
a.
Konteks Politik Indonesia 1959-1965
Pada masa pergantian kurikulum
tahun 1960, sistem politik yang diterapkan di Indonesia adalah Demokrasi
Terpimpin. Sistem ini berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966,
yaitu dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga jatuhnya kekuasaan
Sukarno. Latar belakang dicetuskannya sistem Demokrasi Terpimpin oleh
Presiden Soekarno. Dari segi keamanan adalah banyaknya gerakan sparatis pada
masa Demokrasi Liberal, menyebabkan ketidakstabilan di bidang keamanan.
Yang kedua adalah dari segi perekonomia, sering terjadinya pergantian kabinet
pada masa Demokrasi Liberal
menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan
secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat. Kemudia demokrasi
terpimpin dicetuskan juga karena Konstituante gagal dalam menyusun UUD[12] baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Masa Demokrasi Terpimpin yang
dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran beliau agar
Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD'45. Namun
usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai
tindak lanjut usulannya, diadakan voting yang diikuti oleh seluruh anggota
konstituante. Voting ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang
timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut. Hasil voting
menunjukan bahwa 269 orang setuju untuk kembali ke UUD'45 dan 119 orang
tidak setuju untuk kembali ke UUD'45[13].
Melihat dari hasil voting, usulan
untuk kembali ke UUD'45 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh
jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3
bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950. Bertolak
dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959[14] :
a. Tidak berlaku kembali UUDS 1950
b. Berlakunya kembali UUD 1945
c. Dibubarkannya konstituante
d. Pembentukan MPRS dan DPA
Dengan dikeluarkannya Dekrit
Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959 diganti
dengan Kabinet Kerja. Program Kabinet meliputi keamanan dalam negeri,
pembebasan Irian Jaya, dan sandang pangan. Dengan Penetapan Presiden No.2 tahun
1959, dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang
anggota-anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan memenuhi beberapa
persyaratan sebagai berikut[15]:
1. Setuju kembali kepada UUD 1945
2. Setia kepada perjuangan RI, dan
3. Setuju dengan Manifesto Politik.
Keanggotaan MPRS[16] terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah dan wakil-wakil golongan. Tugas MPRS adalah menetapkan garis-garis besar
haluan negara sesuai pasal 2 UUD 1945. Presiden juga membentuk Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) yang diketuai oleh Presiden sendiri, mempunyai
kewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul
kepada Pemerintah (pasal 16 ayat 2 UUD 1945). DPA dilantik pada tanggal 15
Agustus 1959. DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 tetap menjalankan tugasnya
dengan landasan UUD 1945 dan dengan menyetujui segala perombakan yang dilakukan
oleh pemerintah, sampai tersusun DPR baru. Semula nampaknya anggota DPR lama
akan mengikuti saja kebijaksanaan Presiden Sukarno, akan tetapi ternyata
kemudian mereka menolak Anggaran Belanja Negara tahun 1960 yang diajukan oleh
pemerintah. Penolakan Anggaran Belanja Negara tersebut menyebabkan
dikeluarkannya Penetapan Presiden No.3 tahun 1960, yang menyatakan pembubaran
DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955. Tindakan itu disusul dengan usaha
pembentukan DPR baru. Dan pada tanggal 24 Juni 1960 Presiden Sukarno telah
selesai menyusun komposisi DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR-GR).
Para anggota DPR-GR yang baru itu
dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Komposisi DPR-GR terdiri dari anggota
golongan Nasionalis, Islam, dan Komunis dengan perbandingan 44:43:30.
Peraturan-peraturan dan tata-tertibnya juga ditetapkan oleh Presiden. Tugas
DPR-GR adalah melaksanakan Manipol, merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat,
dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 5 Januari 1961 Presiden
Sukarno menjelaskan lagi kedudukan DPR-GR yaitu bahwa DPR-GR adalah pembantu
Presiden/Mandataris MPRS dan memberi sumbangan tenaga kepada Presiden untuk
melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan oleh MPRS.
Presiden Sukarno pada upacara
bendera Hari Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1959 mengucapkan pidato yang
berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Dalam sidangnya pada bulan
September 1959, DPA dengan suara bulat mengusulkan kepada pemerintah agar
pidato Presiden tanggal 17 Agustus tersebut dijadikan garis-garis besar haluan
negara, dan dinamakan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Usul DPA
itu diterima baik oleh Presiden Sukarno. Dan pada sidangnya pada tahun 1960,
MPRS menetapkan Manifesto Politik itu menjadi Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN). [17]
Dalam Ketetapan itu diputuskan
pula, bahwa pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 dengan
judul: “Jalannya Revolusi Kita” dan Pidato Presiden tanggal 30 September
di muka Sidang Umum PBB yang berjudul To build the world anew (Membangun
dunia kembali) merupakan pedoman-pedoman pelaksanaan Manifesto Politik[18]. Terhadap perkembangan politik itu pernah ada reaksi dari
kalangan partai-partai, antara lain dari beberapa pemimpin Nahdlatul Ulama
(NU) dan dari PNI. Reaksi juga datang dari Prawoto Mangkusasmito
(Masyumi) dan Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia. Sutomo
mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Agung dengan suratnya tanggal 22 Juni
1960. Sutomo menuduh kabinet bertindak sewenang-wenang dan mengemukakan
beberapa fakta sebagai berikut:
a. Paksaan untuk menerima Manipol dan Usdek, tanpa diberi tempo terlebih
dahulu untuk mempelajarinya;
b. Paksaan supaya diadakan kerja sama antara golongan Nasionalis, Agama,
dan Komunis;
c. Paksaan pembongkaran Tugu Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56,
Jakarta.
Memang di kalangan partai-partai
terdapat variasi sikap dan pendapat. Pelbagai tokoh partai menggabungkan diri
dalam Liga Demokrasi yang menentang pembentukan DPR-GR. Liga
Demokrasi diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU, tergabung beberapa tokoh NU,
Parkindo, Partai Katholik, Liga Muslim, PSII, IPKI, dan Masyumi. Pada akhir
bulan Maret 1960 Liga tersebut mengeluarkan satu pernyataan yang antara lain
menyebutkan: supaya dibentuk DPR yang demokratis dan konstitusional. Oleh sebab
itu, hendaknya rencana pemerintah untuk membentuk DPR-GR yang telah diumumkan
tersebut, ditangguhkan. Adapun sebagai alasan dikemukakan antara lain[19]:
a. Perubahan perimbangan perwakilan golongan-golongan dalam DPR-GR,
memperkuat pengaruh dan kedudukan suatu golongan tertentu.
b. DPR yang demikian pada hakekatnya adalah DPR yang hanya akan
meng-ia-kan saja, sehingga tidak dapat menjadi soko guru negara hukum dan
demokrasi yang sehat.
c. Pembaharuan dengan cara pengangkatan sebagaimana yang dipersiapkan itu
adalah bertentangan dengan azas-azas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang.
Kegiatan Liga Demokrasi tersebut
hanya nampak pada waktu Presiden Sukarno berada di luar negeri. Setibanya
Presiden di tanah air, beliau segera melarang Liga Demokrasi. Tindakan Presiden
Sukarno selanjutnya adalah mendirikan Front Nasional, yaitu suatu
organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang
terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional itu diketuai oleh Presiden Sukarno
sendiri. Presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi [20](MPPR). MPPR beserta stafnya merupakan badan pembantu Pemimpin Besar
Revolusi (PBR), dalam mengambil kebijaksanaan khusus dan darurat untuk menyelesaikan
revolusi. Keanggotaan MPPR terdiri dari sejumlah menteri yang mewakili MPRS dan
DPR-GR, departemen-departemen, angkatan-angkatan dan wakil dari organisasi
Nasakom. Badan ini langsung berada di bawah Presiden.
Dalam periode Demokrasi Liberal
dan Demokrasi Terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha menempatkan
dirinya sebagai golongan yang menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik
Indonesia. Kekuatan politik pada waktu itu terpusat di tangan Presiden Sukarno
dengan TNI-AD dan PKI di sampingnya. Sehubungan dengan strateginya yang
“menempel” pada Presiden Sukarno, PKI secara sistematis berusaha memperoleh
citra sebagai Pancasilais dan mendukung ajaran-ajaran Presiden
Sukarno yang menguntungkannya. TNI-AD mensinyalir adanya tindakan-tindakan
pengacauan yang dilakukan PKI di Jawa Tengah (PKI malam). TNI pun
bertindak dengan melakukan pengawasan terhadap PKI, namun Presiden Sukarno
justru memerintahkan agar segala keputusan itu dicabut kembali. Pidato-pidato
Presiden Sukarno yang berjudul Resopim, Takem, Gesuri, Tavip, Takari jelas
menggambarkan sikap politik Presiden Sukarno yang cenderung kepada TKI dan
membuat PKI untuk menyudutkan TNI-AD sebagai pihak yang sumbang suaranya.
Puncak dari kegiatan PKI adalah meletusnya Pemberontakan G 30 S/PKI.
b. Konteks Ekonomi Indonesia tahun
1959-1965
Dengan
meletusnya peristiwa G30 S/PKI mengakibatkan kondisi politik, militer, sosial
dan ekonomi menjadi sangat kacau. Terlebih memang pada tahun-tahun itu
Indonesia mengalami krisis ekonomi yang begitu hebat karena pemerintah dibawah
pemerintahan Soekarno tidak berhasil mengendalikan laju perekonomian saat itu,
kondisi politik yang terus mengalami perubahan juga berdampak akan hal itu
sehingga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah mulai berkurang. Keadaan ekonomi
saat itu mengalami stagflasi (stagnasi dan inflasi).
Pada
bulan Agustus 1965 Soekarno menarik Indonesia dari hubungan-hubungan yang masih
tersisa dengan dunia kapitalis (Dana Moneter Internasional/IMF[21], Interpol, Bank Dunia). Kini struktur
sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia hampir runtuh. Inflasi sangat
tinggi, dengan harga-harga barang naik sekitar 500 persen selama setahun
itu.Diduga harga beras pada akhir tahun 1965 sedang naik sebesar 900 persen
setiap tahun. Kurs pasar gelap untuk rupiah terhadap dolar Amerika jatuh dari
Rp 5.100,00 pada awal tahun 1965 menjadi Rp 17.500,00 pada kuartal ketiga tahun
itu dan Rp 50.000,00 pada kuartal keempat[22].
Rakyat
kesulitan mendapat kebutuhan pokok. Defisit saldo neraca pembayaran dan defisit
keuangan pemerintah sangat besar (1965 : defisit 200% APBN). Jumlah pendapatan
pemerintah rata-rata Rp 151 juta (’55-65), sedangkan pengeluaran rata-rata 359
juta atau lebih dari 100% pendapatan[23]. Kegiatan sektor pertanian dan sektor
industri manufaktur relatif terhenti karena keterbatasan kapasitas produksi dan
infrastruktur pendukung, tingkat inflasi sangat tinggi, mencapai lebih dari 300
- 500% per tahun.
Ekonomi
masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan
rakyat kepada Soekarno dan PKI meluntur. Inflasi yang mencapai 650% membuat
harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri
beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor
yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk
menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang
Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut,
banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian,
gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; merekapun
menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor
ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam
jenderal tersebut, yang berakibat adanya gerakan anti terhadap PKI dan timbul
pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali serta tempat-tempat lainnya. Pemerintah melakukan Devaluasi pada 13
Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang
rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di
masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka
tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka
inflasi. Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah
karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa orde
lama banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga
sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat.
Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem
demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur
(sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain.
Di
kota-kota besar, kota-kota kecil, dan desa-desa kaum komuis maupun yang anti
komunis merasa yakin akan cerita-cerita tentang sedang dipersiapkannya
regu-regu pembunuh dan sedang disusunnya daftar calon para korbannya.
Ramalan-ramalan, pertanda-pertanda, dan tindak kekerasan merajalela. Sejak
akhir bulan September dengan berkumpulnya puluhan ribu tentara di Jakarta dalam
rangka mempersiapkan peringatan Hari Angkatan Bersenjata pada tanggal 05
Oktober, dugaan-dugaan tentang akan terjadinya kudeta menjadi semakin santer.
Pada tanggal 20 September,Yakni akhirnya mengumumkan bahwa angkatan darat
menetang pembentukan “angkatan kelima”. Pada tanggal 30 September malam sampai
01 Oktober 1965 ketegangan-ketegangan meletus karena terjadinya percobaan
kudeta di Jakarta.Pada tanggal 30 September 1965 malam struktur yang lemah
tersebut hancur.Kejadian itu berlangsung berbulan-bulan sebelum
akibat-akibatnya menjadi jelas, tetapi perimbangan kekuatan-kekuatan yang
bermusuhan yang mendukung demokrasi terpimpin telah berakhir.
c. Konteks Sosial Indonesia tahun
1959-1965
Sejak tahun 1959 Indonesia berada dibawah gelora
Manipol- Usdek [24]yang
seolah-olah menjadi panglima dalam kehidupan politik Indonesia dan dalam bidang
kehidupan lain. Bidang pendidikan pun tak luput dari pengaruh tersebut. Keputusan
Presiden No.145 Tahun 1965 merumuskan tujuan nasional pendidikan Indonesia
sesuai dengan Manipol-Usdek. Manusia sosialis Indonesia adalah cita-cita utama
setiap usaha pendidikan di Indonesia, sedangkan kepentingan kehidupan pribadi
agar dinomorduakan.
Dasar Pendidikan di Indonesia pada Periode ini tetap
berlandaskan pancasila. Dasar pendidikan ini tidak mengalami perubahan sejak
tahun 1945 ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Meskipun
selama periode ini Indonesia sudah menggunakan tiga undang-undang dasar, tetapi
dalam setiap UUD tersebut Pancasila tetap dijadikan dasar falsafah negara,
dengan demikian secara otomatis menjadi dasar pendidikan di Indonesia. Dalam
keputusan Presiden RI No.145 Tahun 1965 tentang nama dan rumusan induk sistem
pendidikan nasional, tujuan ditetapkan sebagai berikut [25]:
“Tujuan
Pendidikan Nasional baik yang diselenggarakan oleh pihak pemerintah maupun oleh
pihak swasta, dari pendidikan Prasekolah sampai pendidikan tinggi, suoaya
melahirkan warga negara Sosialis, yang bertanggung jawab atas terlaksananya
masyarakat Sosialis Indonesia, adil, dan makmur baik spirituil maupun materiil
dan berjiwa Pancasila, yaitu : a) Ketuhanan Yang Maha Esa; b) Perikemanusiaan
yang adil dan beradab; c) Kebangsaan; d) Kerakyatan dan e) Keadilan Sosial,
seperti dijelaskan dalam Manipol/ Usdek”
Pertikaian ideologi dalam pendidikan juga nampak
antara kelompok organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) [26]yang
dipimpin oleh Soebiadinata dengan PGRI nonvaksentral yang diprakarsai golongan
kiri (PKI) dan mendapat perlindungan dari Prof. Prijono, Menteri Pendidikan
Dasar dan Kebudayaan (PD dan K) pada saat itu. Pangkal pertikaian adalah
tentang landasan sistem pendidikan berdasarkan Pancasila yang didukung oleh
PGRI pimpinan Soebiadinata, organisasi kemasyarakatan kependidikan nonkomunis,
yang oleh Prijono, melalui PGRI nonvaksentral akan dibelokkan arahnya menjadi
sistem pendidikan berdasarkan Komunisme, dengan memperkenalkan konsep
Pancacinta. Pertikaian ideologi ini memuncak dengan dipecatnya 27 orang
karyawan Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan yang mempertahankan sistem
pendidikan Pancasila[27].
Namun upaya- upaya golongan kiri komunisme ini
mengalami kegagalan total, dan sementara itu tujuan pendidikan yang
berlandaskan pada Manipol-Usdek ini tidak bertahan lama. Dengan meletusnya
peristiwa G30 S/ PKI tahun 1965, tujuan pendidikan iini ditinggalkan.
Masyarakat Indonesia mulai sadar akan maksud-maksud politis PKI yang tercantum
dalam tujuan tersebut dengan menggunakan Pancasila sebagai perisai.
d.
Konteks Budaya Indonesia tahun 1959-1965
Sesuai dengan semboyan PKI “
politik adalah panglima” maka seluruh kehidupan masyarakat diusahakan
untuk berada di bawah dominasi politiknya. Kampus diperpolitikkan mahasiswa
yang tidak mau ikut dalam rapat umumnya, appel-appel besarnya dan
demonstrasi-demonstrasi revolusionernya di caci maki dan dirongrong oleh unsur
Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) [28]atau satelit-satelitnya. Wartawan yang ikut BPS dimaki-maki sebagai
antek Nekolim atau agen CIA[29]. Bahkan para budayawan maupun seniman juga tak luput dari raihan
tangan mereka.
Realisme sosialis sebagai
doktrin komunis dibidang seni dan sastra diusahakan untuk menjadi doktrin di
Indonesia juga. Akan tetapi pelaksanaan doktrin tersebut lebih represif dari
pada persuasive seperti adanya larangan bagi pemusik-pemusik pop untuk
memainkan lagu-lagu ala imperialis barat. Peristiwa yang paling diingat oleh
masyarakat pada bidang budaya adalah heboh mengenai Manifes Kebudayaan dan
Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI). Sesungguhnya isi
dari Manifes Kebudayaan itu tidaklah baru atau luar biasa. Yang diungkap adalah
konsepsi humanisme universal yang timbul dalam masyarakat liberal
yang menekankan kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif. PKI tidak
serta merta menyerang manifes tersebut akan tetapi berselang 4 bulan setelah
kemunculannya baru mulai angkat senjata. Hal ini terjadi karena para sastrawan
Pancasilais baik yang mendukung manifes kebudayaan maupun tidak sedang menyiapkan
rencana untuk menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI).
PKI menganggap bahwa sebuah manifest saja bukanlah ancaman bagi mereka akan
tetapi suatu pengelompokan yang terorganisasi merupakan bahaya yang harus
segera ditumpas sebelum berkembang lebih besar. Para sastrawan yang sudah
menyiapkan KKPI memiliki perencanaan yang matang. Mereka sudah melakukan
pengaman secukupnya baik berupa konsepsi maupun dukungan dari pejabat-pejabat
dan kekuatan-kekuatan pancasilais.
Setelah kemunculan Persatuan
Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI) barulah PKI mulai mengadakan kampanye untuk
mengidentifikasi KKPI dan PKPIdengan manifest kebudayaan untuk sama-sama
dihancurkan. Serangan terhadap manifest kebudayaan terus dilancarkan melalui
tulisan yang semakin tajam dalam Harian Rakyat, Bintang
Timur dan Zaman Baru[30]. PKI menganggap manifest kebudayaan sebagai bentuk penyelewengan dari
revolusi Indonesia yang berporos pada soko guru tani, buruh dan prajurit. Di
lain sisi PKI [31]mendukung penuh gagasan manifest politik karena dalam ide-ide tersebut
terdapat penyesuaian gagasan sikap politik budaya dari perjuangan komunisme.
Manifes kebudayaan dianggap mengesampingkan manifest politik karena memisahkan
antara politik dan kebudayaan. Propaganda PKI yang hebat sedikit banyak telah
mempengaruhi massa, serangan-serangan terhadap pendukung manifest kebudayaan
dan KKPI tidak ada hentinya dalam harian, pidato, tokoh-tokoh PKI maupun aksi
politik. Serangan lewat media mass media, aksi turun kejalanberdemonstrasi
dilakukan oleh penyokong PKI. Aksi-aksi tersebut mengundang presiden Soekarno
sehingga pada ulang tahun Departemen Perguruan Tinggi dan ILmu Pengetahuan
(PTIP) yang ke-3 menyampaikan pidato yang mendesak mahasiswa revolusioner dan
molotan untuk menggeser guru-guru besar dan sarjana anti manifest politik.
Pidato Presiden Soekarno tentang Manipol-Usdek yang dimanfaatkan PKI untuk
pentrapan bagi konsumsi rakyat. Dalam pidato ini Presiden soekarno mengecam
adanya kebudayaan barat yang diasosiasikan dengancita-cita imperialism barat.
Kekuatan Pki setelah tahun 1963sangat besar dan berpengaruh sekali, Bahkan PKI
dapat keluar masuk istana secara mudah. Sehingga Presiden soekarno
mengeeluarkan larangan terhadap manifest kebudayaan karena manifesto politik
republic Indonesia sebagai pancaran pancasiala telah menjadi garis besar haluan
negara tidak mungkin didampingi manifesto lain apalagi kalau manifesto itu
menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi dan member kesan berdiri
disampingnya.
Pernyataan Presiden Soekarno yang
menganggap pendukung manifest kebudayaan bertentangan dengan manipol merupakan
suatu tuduhan yang sangat berbahasa pada saat itu. Pencetus utama manifest
kebudayaan H.B Jassin, wiratmo Sukitodan Trisno sumardjo merasakan ahwa mereka
harus membuat suatu pernyataan berkenaan dengan perintah pelarangan dari
Presiden soekarno untuk menjelaskan posisi manifesto kebudayaan, membersihkan
diri mereka dari massa yang digerakkkan PKI. Oleh sebab itu pada tanggal 11 Mei
1964 ketiga tokoh tersebut menanggapi larangan Presiden Soekarno. Pernyataan
ini dibuat agar angka korban yang jatuh akibat dukungan kepada manifest
kebudayaan tidak meningkat[32].
Pada tanggal 27 Agustus-2
September 1964 PKI mengadakan Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner
(KSSR) di Jakarta. KSSR ini dimaksudkan untuk menandingi KKPI yang diadakan
bulan Maret lalu. KSSR mau membuktikan bahwa suasana kebudayaan berada dibawah
kekuasaaan PKI[33]. Dengan demikian berhasilllah PKI memukul manifest kebudayaan akan
tetapi PKPI tidak dapat mereka hancurkan. Benteng Pancasila tidak dapat
ditaklukkan oleh PKI selain itu para sastrawan Indonesia mendapatkan pelajaran
berharga bahwa untuk menghadapi komunisme diperlukan juga senjata berupa
organisasi.
2.
Fase-fase Penting dalam masa Kurikulum 1960
Tabel
1.1
Fase- fase Penting Kurikulum[34]
Tahun Kurikulum
|
Fase-fase penting Kurikulum
|
1954
|
Fase atau kejadian penting pertama
yang kelompok temui mengenai adanya kurikulum 1954 ini diawali dari perubahan
sebutan kurikulum dengan nama Rencana Pelajaran 1954 dari yang sebelumnya
bernama “Rencana Pelajaran Terurai 1952”.Fase atau kejadian penting kedua
adalah Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya
UndangUndang No. 4 Tahun 1950 adanya Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran
Disekolah Untuk Seluruh wilayah Indonesia. Fase atau kejadian penting ketiga
adalah adanya UU tentang dasar-dasar pendidikan untuk pertama kalinya
mengeluarkan kebijakan wajib belajar anak selama 6 tahun untuk anak-anak.
|
1959
|
Fase atau kejadian penting pertama
yang kelompok temui mengenai adanya kurikulum tahun 1959 ini, diawali dari
adanya demokrasi terpimpin (orde lama) yang dipimpin oleh presiden Soekarno. Fase
atau kejadian penting kedua adalah Indonesia mengalami perubahan politik yang
sangat mendasar ketika UUD tahun 1950 dinyatakan tidak lagi berlaku dan
Indonesia kembali menggunakan UUD 1945. Fase atau kejadian penting ketiga
adalah Presiden Soekarno memperkenalkan konsep kehidupan bangsa yang baru
yaitu Manipol Usdek (Manipol : Manifesto Politik ; USDEK : Undang-Undang Dasar
1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia) Fase atau kejadian penting ketiga ini adalah bahwa
Menteri Muda Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Dr Prijono (Priyono)
mengeluarkan instruksi pada tanggal 17 Agustus 1959 yang terkenal dengan nama
Sapta Usaha Tama (Tujuh Usaha Utama).
|
1960
|
Fase atau kejadian penting pertama
yang kelompok temui mengenai adanya kurikulum 1960 ini dilatarbelakangi oleh
adanya ketetapan MPRS oleh pemerintah. Fase atau kejadian penting kedua
adalah bahwa Presiden Soekarno telah menetapkan Manifesto Politik menjadi
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Fase atau kejadian penting ketiga
adalah adanya pembentukan DPR yang baru oleh Presiden Soekarno menjadi DPR-GR
(Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong).
|
1964
|
Fase atau kejadian penting pertama
yang kelompok temui mengenai adanya kurikulum 1964 dilatarbelakangi oleh
sebuah titik akhir dari kekuasaan Soekarno.Pada akhir era kekuasaan Soekarno,
kurikulum pendidikan yang lalu diubah menjadi Rencana Pendidikan 1964. Isu
yang berkembang pada rencana pendidikan 1964 ini, adalah konsep pembelajaran
yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep pembelajaran ini
memfokuskan peserta didik di sekolah agar mampu memikirkan sendiri pemecahan
masalah (problem solving).
Fase atau kejadian penting kedua yang
melatarbelakangi kurikulum ini adalah awal terbentuk nya hari Sabtu sebagai
Sabtu Krida. Yaitu murid diberi kebebasan dalam pengembangan potensi mereka
di bidang olahraga, budaya, dan seni.yang sekarang disebut sebagai kegiatan
Ekstrakulikuler. Fase atau kejadian penting keempat yang melatarbelakangi
kurikulum ini adalah Indonesia telah bebas dari masalah buta huruf. Tepatnya
Indonesia berada di puncak buta hufur terbebas pada tanggal 31 desember 1964.
Fase atau kejadian penting kelima yang
melatarbelakangi kurikulum ini adalah untuk pertama kalinya pada kurikulum
1964 ini, mengubah penilaian rapor
bagi kelas I dan II yang asalnya berupa skor 10 – 100 menjadi huruf A,
B, C, dan D. Sedangkan bagi kelas II hingga VI tetap menggunakan skor 10 –
100.
|
1965
|
Fase atau kejadian penting pertama
yang kelompok temui mengenai adanya kurikulum 1965 ini adalah adanya
perubahan politik dari pemerintahan orde lama ke orde baru, dan Demokrasi
Pancasila yang Murni Dan Konsekuen / Orde Baru yang dipimpin oleh presiden
Soeharto.
|
3. Partisipasi Masyarakat
Seperti halnya pada
pendidikan periode 1945-1950, kesempatan belajar juga diberikan seluas-luasnya
kepada setiap anak Indonesia. Kesempatan ini tercantum dalam UU No. 4 Tahun
1950, UU No, 12 Tahun 1954, Pasal 17 yang menyatakan bahwa:
“Tiap-tiap
warga negara RI mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu
sekolah, jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran
pada sekolah itu”[35].
Di samping itu, dalam Pasal 21 ayat 1 dinyatakan
bahwa sekolah-sekolah negeri menerima murid laki-laki dan perempuan, kecuali
sekolah-sekolah kepandaian atau keahlian yang khusus untuk murid-murid
laki-laki atau murid perempuan[36]. Bahkan
dalam keadaan tertentu pendidikan dapat diberikan secara khusus dan terpisah.
Dari undang-undang tersebut dapat disimpulkan dalam tiga hal.
Pemerintah memberikan kesempatan belajar bagi setiap
golongan masyarakat untuk mencapai tingkat yang tertinggi, asalkan memenuhi
syarat. Bagi warga masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah, tetapi
berprestasi dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi dengan bantuan
pemerintah yaitu melalui beasiswa. Pemerintah memberikan kesempatan belajar
bagi setiap golongan masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin.
Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 Bab VII Pasal
20 tentang Kewajiban Belajar, dinyatakan bahwa anak yang sudah berumur 6 tahun
berhak dan yang berumur 8 tahun wajib belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun.
Pada tahun 1954 terdapat kira-kira 15 juta anak usia sekolah dasar yang harus
ditampung di Sekolah Rakyat. Untuk itu diperlukan gedung sekolah. Jika satu
sekolah mempunyai enam ruang dan setiap guru mengajar 40 murid maka kebutuhan
gedung sekolah adalah 15.000.000 dibagi dengan (6 X 40) menjadi 62.500 gedung
SR. Namun, kenyataannya sebagian besar gedung sekolah sudah tua usianya
sehingga masih banyak yang menggunakan gedung darurat, menggunakan gedung
bersama dengan sekolah lain, menggunakan gedung milik asing yang dinyatakan
milik pemerintah, menggunakan bekas gudang, dan menggunakan gedung sekolah
asing yang ditutup. Di samping itu, jumlah baru masih sedikit sehingga
diperlukan tambahan gedung sekolah baru. Pembangunan tersebut banyak mengalami
hambatan karena kesulitan mendapatkan tanah dan biaya. Demikian pula sekolah
lanjutan masih banyak menggunakan gedung darurat. Untuk universitas masalah
sama, misalnya Universitas Gadjah Mada, berkat bantuan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dapat memakai Pagelaran dari Sri Hinggil, dan Universitas Indonesia
masih menempati gedung bekas pabrik candu.
Di samping gedung sekolah pemerintah, badan
pendidikan swasta ikut pula membangun banyak gedung sekolah dengan jalan
mengadakan pengumpulan dana, serta sumbangan dari orang tua murid. Dengan
demikian banyak terjadi pinjam-meminjam atau pemakaian bersama ruang sekolah
negeri dan swasta. Sedangkan bagi Universitas Gadjah Mada, Universitas
Indonesia, dan Universitas Airlangga, pembangunan gedung dapat terlaksana atas
kerja sama dengan pihak luar negeri khususnya dengan Amerika Serikat. Begitu
pula Institut Oceanologi di Ambon, pembangunan kompleksnya dibantu oleh Rusia.
Demikianlah keadaan pendidikan dalam dua dasawarsa sesudah pengakuan kedaulatan
(Desember 1949).
·
Partisipasi
Pendidikan Swasta
Hasrat Masyarakat untuk berperan serta dalam
pendidikan nasional antara lain diwujudkan melalui pendirian sekolah swasta
yang bercirikan keagamaan seperti Muhammadiyah Ma’arif, Kristen, dan Katolik,
dan bercirikan kebangsaan seperti Taman Siswa. Bentuk pendidikan swasta bukan
hal baru karena pada zaman kolonial, Belanda mengizinkan mendirikan
sekolah-sekolah swasta yang diselenggarakan oleh misi Katolik dan zending
Protestan. Demikian juga, masyarakat Islam mendirikan lembaga pendidikan yang
disebut madrasah. Dalam perkembangan kemudian lahir lembaga pendidikan yang
didirikan oleh Muhammadiyah.
Meskipun sudah dikeluarkan UU Nomor 4 Tahun 1950 dan
Peraturan Bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama tanggal 16 Juli 1951 yang menjamin
adanya pendidikan agama di sekolah negeri, namun orang tua murid merasakan apa
yang diajarkan di sekolah belum mencukupi dan tetap menginginkan adanya
pendidikan khusus yang bercirikan keagamaan.
Dalam masa kemerdekaan, yaitu pada periode 1951 sampai
1968/1969, lembaga swasta bermunculan dengan mendirikan sekolah-sekolah swasta
yang baru maupun melanjutkan kegiatan yang telah ada sebelumnya. Sekolah
tersebut selain bercirikan agama islam seperti Muhammadiyah, juga Kristen
Protestan dan Katolik. Selain ciri khas keagamaan, terdapat sekolah swasta yang
berciri khas kebangsaan, yaitu Taman Siswa (yang telah berdiri semasa
penjajahan).
Sekolah Muhammadiyah yang semula hanya mengajarkan
ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai dan sedikit ilmu umum yang diajarkan oleh
guru pemerintah yang bersedia membantu, kemudian disempurnakan dan didirikan di
daerah lain. Pertambahan jumlah sekolah seiring dengan tambahnya jumlah cabang
Muhammadiyah yang dengan cepat tumbuh di banyak desa di seluruh Indonesia.
Muhammadiyah selain mendirikan sekolah umum juga mendirikan sekolah umum agama
seperti PGAP, PGAA, atau PGA [37]6
tahun, kemudian mendirikan perguruan tinggi yaitu FKIP Muhammadiyah dan
Universitas Muhammadiyah. Dibandingkan dengan lembaga lainnya, sekolah-sekolah
Muhammadiyah tidak terlalu mendapatkan subsidi dari Pemerintah karena lebih
mengandalkan pada kemampuan, kemauan, dan darma bukti umat Islam dan rakyat
sendiri.
Badan yang mengkoordinasikan sekolah-sekolah Kristen
di seluruh Indonesia disebut Majelis Pusat Pendidikan Kristen (MPPK) di
Indonesia yang didirikan pada tanggal 5 Juni 1950. Badan Kristen ini berupa
Dewan atau Badan Musyawarah. Yang diterima menjadi anggota MPPK adalah
Yayasan/Badan Hukum yang menyelenggarakan pendidikan Kristen serta yang
menerima dan menyetujui Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART),
MPPK.
Setelah periode perjuangan fisik pada tahun 1945
sampai 1949, lembaga pendidikan Katolik berkembang pesat karena dukung oleh
faktor-faktor seperti nama baik, dan banyak pejabat pernah memperoleh
pendidikan di sekolah Katolik yang memberi kenangan baik kepada mereka.[38]
4.
Model
Pembelajaran
Kurikulum SD
|
Kurikulum SMP
|
Kurikulum SMA
|
Kurikulum
Sekolah Kejuruan
|
Kurikulum
Sekolah Keguruan
|
Rencana
Pendidikan SD 1964: (1) sekolah-sekolah yang menggunakan pengantar bahasa
daerah dari kelas I sampai kelas III; dan (2) sekolah-sekolah yang
menggunakan pengantar bahasa Indonesia mulai kelas I.
- program
mata pelajaran atau bidang studi dikelompokkan sesuai dengan Pancawardhana
menjadi lima kelompok bidang studi, yaitu perkembangan moral, kecerdasan,
emosional-artistik, keperigelan/keterampilan, dan jasmani
|
Kurikulum SMP[1] 1962
disebut juga Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru
Sistem
Pendidikan Pancawardhana.
penghapusan
bagian A dan B pada kelas III SMP yang dimaksudkan untuk menghilangkan rasa
rendah diri , dan menghilangkan rasa lebih tinggi pada siswa bagian B. Dengan
demikian, semua siswa SMP menerima pelajaran yang sama dari kelas I sampai
kelas III.
- penambahan
dua mata pelajaran baru ke dalam Rencana Pelajaran SMP, yaitu Ilmu
Administrasi dan Kesejahteraan Keluarga
- dimasukkannya
jam krida dengan maksud memberikan kesempatan yang luas bagi para siswa untuk
menemukan atau memupuk bakat dan minat mereka masing-masing
- pelaksanaan
Bimbingan dan Penyuluhan yang dimaksudkan untuk mengetahui sebanyak mungkin
tentang diri pada siswa
Pengelompokan
mata pelajaran dalam Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru dibagi menjadi empat
kelompok,
Pertama,
kelompok Dasar adalah kelompok mata pelajaran yang bertujuan untuk melahirkan
warga negara Indonesia yang berjiwa Pancasila dan berjiwa patriot paripurna
serta sehat dan kuat jasmaniah dan rohaniah, sebanyak 6 mata pelajaran.
Kedua,
kelompok Cipta adalah kelompok mata pelajaran yang bertujuan untuk memberikan
dasar-dasar pengetahuan sehingga dapat mewujudkan tenaga kejuruan yang ahli,
sebanyak 9 mata pelajaran.
Ketiga,
kelompok Rasa/Karsa adalah kelompok mata pelajaran yang bertujuan membiasakan
anak didik memenuhi tuntutan sosial masyarakat Indonesia, supaya anak didik
cinta kepada keindahan, sebanyak 4 mata pelajaran.
Keempat, Krida
adalah mata pelajaran yang bertujuan untuk memupuk minat, bakat, dan
kemampuan.
|
Kurikulum SMA[1] 1961
dikembangkan pada tanggal 6 sampai 13 November 1961
bertujuan
untuk melakukan evaluasi dan penyempuraan terhadap usaha pembaharuan
kurikulum yang telah dilakukan. Dalam pertemuan tersebut antara lain
dihasilkan tiga buah kesimpulan sebagai berikut.
tujuan SMA
ialah mengembangkan cita-cita hidup serta mengembangkan
kemampuan dan kesanggupan sebagai anggota masyarakat dan mendidik tenaga ahli
dalam perbagai lapangan sesuai dengan bakat dan minat masing-masing serta
keperluan masyarakat sehingga tamatannya mempunyai dasar-dasar ilmu dan
kecakapan seperlunya untuk mengembangkan diri terutama pada lembaga
pendidikan yang lebih tinggi dan lembaga masyarakat.
penggolongan
mata pelajaran di SMA yaitu (1) Kelompok dasar (enam mata pelajaran) yaitu
mata pelajaran yang diperlukan bagi seluruh siswa dalam rangka pembentukan
warga negara: kewarganegaraan, agama, bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi,
dan pendidikan jasmani dan kesehatan; (2) Kelompok khusus (tujuh mata
pelajaran) yaitu mata pelajaran yang sesuai dengan bakat siswa dan
dipersiapkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi; (3) Kelompok penyerta
(tiga mata pelajaran) yang dianggap perlu untuk memperluas mata pelajaran
kelompok khusus; dan (4) Kelompok prakarya dan krida; krida adalah kegiatan
bidang kebudayaan, kesenian, olahraga, dan permainan yang harus
diselenggarakan di setiap sekolah berdasarkan instruksi Menteri P dan K tahun
1961.
|
Tujuan
pendidikan adalah agar siswa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi dan sekaligus dipersiapkan untuk memasuki dunia kerja;
- Titik berat
ditekankan pada materi pelajaran
- Orientasi
pengajaran pada guru artinya guru yang aktif dan siswa yang pasif;
-
Pada umumnya komunikasi pengajaran hanya satu arah
- Orientasi
kurikulum bervariasi antara satu jenis sekolah dengan jenis sekolah kejuruan
lain
-
Dokumen kurikulum hanya berbentuk struktur program dan pada jenis
sekolah itu
dilengkapi dengan uraian mata pelajaran; - Teori
dan praktik dilaksanakan secara terpisah dengan bobot praktik kejuruan
berkisar antara 20% sampai 50% dari keseluruhan program pendidikan; dan
- Kurikulum
sekolah kejuruan menggunakan istilah jurusan.
Kurikulum
sekolah kejuruan 1968 yang dilaksanakan pada tahun 1968 adalah kurikulum
untuk STM dan kursus-kursus seperti KPA, KKP, KKPA, dan KPAA[1];
sedangkan kurikulum untuk SKKP, SKKA, dan SMEA dilaksanakan pada tahun 1969.
Khusus untuk sekolah kesenian, yaitu Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI),
Sekolah Musik Indonesia (SMIND), Konservatori Karawitan (KOKAR), dan IINRI
dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan.[1]
|
Sekolah Guru B
(SGB) yang setingkat dengan SLTP dihapus dan dialihfungsikan menjadi SMTP
jenis lain sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal
22 Juli 1957 Sekolah Guru A (SGA) dirubah menjadi Sekolah Pendidikan Guru
(SPG) dan Sekolah Guru Pendidikan Djasmani (SGPD) diubah menjadi Sekolah Guru
Olahraga (SGO).
Lulusan SGA[1] dan
lulusan SGPD pada tahun-tahun pertama ditempatkan untuk mengajar di SMTP,
sedangkan lulusan SGTK ditempatkan untuk mengajar di TK Negeri dan Swasta,
dan lulusan SGKP ditempatkan untuk mengajar di SKP.
SGA menjadi SPG
dan diikuti dengan pengintegrasian SGTK ke SPG, kurikulum SPG mengacu pada
kedua program tersebut, yaitu lulusan SPG dapat mengajar di SD dan TK,
sedangkan SGO diprogramkan agar lulusannya mengajar di SD khusus untuk mata
pelajaran olahraga/pendidikan jasmani dan tidak mengajar di SMTP.
|
Sumber : Analisis Peneliti dari buku Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1996
Model
pembelajaran yang dilaksanakan pada kurikulum 1964, Menggunakan sistem
pendidikan pancawardhana di setiap tingkatan, baik SD,SMP, dan SMA. Susunan
pembelajarannya pun masih sederhana mengedepankan perkembangan
moral, kecerdasan, emosional-artistik,
keperigelan/keterampilan,
dan jasmani. Ditambah
dengan dimasukkannya
jam krida ditiap jenjang
sekolah dengan
maksud memberikan kesempatan yang luas bagi para siswa untuk menemukan atau
memupuk bakat dan minat mereka masing-masing, selain itu pada jenjang sekolah dasar Bahasa darah
masih dipergunakan sebagai Bahasa pengantar, dan Bahasa Indonesia sebagai
pendamping.
Pada dasarnya setiap jenjang pendidikan yang
terjadi didalam kurikulum 1964 memiliki tujuan
pendidikan berdasarkan minat dan bakat siswa, maka didalam model
pembelajarannya mengedepankan potensi, minat dan bakat peserta didik / siswa,
dan model pembelajaran pun dibuat selaras untuk mewujudkan potensi siswa
tersebut, selain itu kelompok mata pelajaran yang dibuat bertujuan untuk
melahirkan warga negara Indonesia yang berjiwa Pancasila dan berjiwa patriot. Akan tetapi berbeda dengan sekolah kejuruan dan
sekolah keguruan. Untuk sekolah kejuruan memiliki standar tersendiri dalam
mengembangkan potensi peserta didik, karena Orientasi kurikulum
bervariasi antara satu jenis sekolah dengan jenis sekolah kejuruan lain dan Teori dan praktik dilaksanakan
secara terpisah dengan bobot praktik kejuruan berkisar antara 20% sampai 50%
dari keseluruhan program pendidikan. Untuk sekolah keguruan, lebih banyak terjadi perubahan nama ditahun 1964 seperti SGA
menjadi SPG dan diikuti dengan pengintegrasian SGTK ke SPG, kurikulum SPG
mengacu pada kedua program tersebut, yaitu lulusan SPG
a. Angka Buta Huruf tahun 1960-1965
Setelah Proklamasi kemerdekaan baru usai
dikumandangkan, pemerintah sukarno tidak hanya menyerukan mengangkat senjata
melawan kolonialisme belanda, tetapi juga memerintahkan menentang pena dan buku
untuk memberantas Buta huruf di kalangan rakyat indonesia. Dimulai pada tanggal
14 maret 1948, bung karno meluncurkan program Pemberantasan Buta Huruf (PBH).
Padahal saat itu indonesia masih berjibaku dalam perang melawan kolonialisme
belanda.mengenai hal itu bung karno mengatakan “bukan saja kita menang di medan
peperangan, tetapi juga didalam hal pemberantasan Buta huruf kita telah
mencapai hasil jang sangat menjugemaken dan itu adalah pula salah satu great
achivement.” Kemudian pemerintahan sukarno masih sempat menyelenggarakan kursus
PBHdi 18.663 tempat yang berjumlah 881 tempat dengan 515 orang guru dan 33626
murid[39].
Pada tahun 1960 bungkarno kembali mengeluarkan komado. Indonesia harus terbebas
dari buta huruf hingga tahun 1964. Seluruh rakyatpun dimobilisasi untung
mengsukseskan ambisi tersebut banyak orang yang pandai Baca-Tulis dikerahkan
untuk mengajar secara sukarela. Organisasi-organisasi mas, seperti partai
komunis indonesia (PKI) Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan PGRI
non-vaksentral teribat dalam kegiatan ini.
Hasilnya sungguh menabjubkan pada tanggal 31
desember 1964 semua penduduk indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di
irian barat) dinyatakan bebas buta huruf. Yang patut dicatat dari pengalaman
itu ada dua pertama, adanya komitmen kuat pemerintah saat itu untuk menempatkan
pemberantasan buta huruf sebagai bagian dari perjuangan nasional yang tidak
boleh dikesampingkan. Kedua adanya proses pelibatan dan mobilitasrakyat dalam
mensukseskan pemberantasan buta huruf .
Bagan
1.2
Sistem
Persekolahan
UU
No. 4 Tahun 1950 dan UU No. 22 Tahun 1961
Usia
Sekolah
Resmi Sekolah
Universitas Institut Tinggi
23
|
|
Perguruan
Tinggi
|
|
Sarjana
Agama Islam
Sarjana
Muda Agama Islam
|
|
|
|
Akademik
|
|||||
22
|
|||||||||||||
21
|
|
|
|
|
|||||||||
20
|
|||||||||||||
19
|
|||||||||||||
18
|
Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
|
Madrasah
Aliyah (MA)
|
SMA
|
SMEA
|
SKKA
|
STM
|
SPG
|
SMOA
|
SPSA/
STIK
|
LAIN-
LAIN
|
|||
17
|
|||||||||||||
16
|
|||||||||||||
15
|
Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
|
Madrasah
Tsanawiyah (MTs)
|
Sekolah
Menengah Pertama (SMP)
|
Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP)
|
Sekolah
Kesejahteraan Keluarga Pertama (SKKP)
|
Sekolah
Teknik (ST)
|
|||||||
14
|
|||||||||||||
13
|
|||||||||||||
12
|
Sekolah
Dasar
|
Madrasah
Ibtidaiyah (MI)
|
Sekolah
Dasar
(SD)
|
||||||||||
11
|
|||||||||||||
10
|
|||||||||||||
9
|
|||||||||||||
8
|
|||||||||||||
7
|
|||||||||||||
6
|
Pra-
Sekolah
|
Taman
Kanak-kanak
(TK)
|
|||||||||||
5
|
Dilihat dari bagan 1.2 tentang sistem
persekolahan sekolah, menurut peraturan Undang-Undang No.4 tahun 1950, dan
Undang-Undang no 22 tahun 1961, sistem sekolah pada waktu itu dibagi kedalam 5
jenjang. Dari jenjang yang awal sampai yang tinggi. Dari jenjang Pra-Sekolah,
Sekolah Dasar selama 6 tahun, lalu naik ke jenjang tengah Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) selama 3 tahun, lalu naik ke jenjang akhir Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas selama 3 tahun juga, dan terakhir di jenjang Perguruan
Tinggi. Jenjang akhir inilah yang menghasilkan para sarjana-sarjana muda yang
berpendidikan di Indonesia.
Jenjang awal atau yang disebut dengan
masa Pra-Sekolah, diperuntukkan bagi anak-anak usia balita untuk mulai bisa
belajar menghitung, menggambar, menuangkan ide kreatifitas mereka dalam bentuk
apapun itu. Orang tua bisa mendaftarkan anak-anak mereka ke dalam Taman
Kanak-kanak (TK). Anak-anak yang masuk di dalam jenjang TK ini, adalah
anak-anak yang kurang lebih berusia 5-7 tahun.
Setelah anak-anak menginjakkan kaki
diusia 7 tahun, bagi orang tua, menyekolahkan anaknya ke sekolah lanjut yang
paling dasar, yaitu Sekolah Dasar (SD). Sekolah Dasar terbagi menjadi 2
pilihan. Sekolah Dasar Negeri, maupun Sekolah Dasar Swasta atau yang biasa
disebut sebagai Sekolah Agama atau Madrasah Ibtidaiyah (MI). Bedanya Sekolah
Dasar Negeri dengan Madrasah Ibtidaiyah ini adalah dari pembelajaran yang
diberikan oleh sekolah kepada peserta didik. Sekolah Negeri lebih banyak
menerapkan pelajaran umum, misalnya bahasa indonesia, bahasa inggirs,
matematika, kesenian, ilmu sosial, ilmu alam, dan agama. Namun, pada sekolah
dasar Ilmu agama yang diberikan tidaklah sepenuhnya seperti yang diajarkan oleh
sekolah MI. Pada sekolah MI, ilmu agama lebih banyak diterapkan disini,
misalnya nilai-nilai agama dan surat-surat pendek. Mereka lebih banyak diberi
materi menghafal surat pendek, maupun nilai-nilai yang diajarkan oleh agama
islam untuk bisa menopangi diri si anak dengan agama, dan makin mengenal agama
mereka. Walaupun MI lebih banyak menerapkan pembelajaran berbasis agama islam,
namun mereka tidak melupakan pelajaran umum yang ada di Sekolah Dasar Negeri
pada umumnya. Pada jenjang Sekolah Dasar ini, anak-anak yang diperbolehkan
bersekolah adalah anak yang berusia mulai dari 7 tahun-12 tahun. Dan Sekolah
Dasar ini ditempuh selama 6 tahun.
Setelah anak lulus dari Sekolah Dasar,
jenjang berikutnya adalah jenjang menengah yaitu Sekolah Lanjutkan Tingkat
Pertama (SLTP). SLTP ini juga memiliki pembagian yaitu; Madrasah Tsanawiyah
(MTs) yaitu sekolah berbasis pendidikan
agama, Sekolah Menengah Pertama (SMP),sekolah ini dibagi menjadi 2 pilihan.
Sekola Menengah Pertama Negeri dan Sekolah Menengah Pertama Swasta. Bagi anak
yang menyukai atau ingin bersekolah dijurusan khusus, dapat dbagi menjadi 3,
yaitu; Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Sekolah Kesejahteraan Keluarga
Pertama (SKKP), dan Sekolah Teknik (ST). Dalam bersekolah di SLTP maupun SMP,
anak-anak diharuskan menghabiskan waktu selama 3 tahun pada jenjang ini agar
bisa melanjutkan ke jenjang akhir (SMA). Biasanya, anak yang sekolah pada
jenjang ini berusia 12-15 tahun.
Tingkat akhir dari sekolah formal ini
adalah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Jenjang ini terbagi ke dalam
beberapa menurut jenis peminatan siswa. Terdapat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA). Sekolah ini adalah sekolah yang menerapkan sistem pembelajaran pada
umumnya. Kedua, Madrasah Aliyah (MA), sekolah ini lebih banyak menerapkan ilmu
agama dari pada ilmu-ilmu umum yang diajarkan pada SLTA. Ketiga ada SMA,
sekolah ini tidak jauh berbeda dengan SLTP. Pembelajaran yang diterapkan
jugalah pembelajaran pada umumnya saja. Keempat ada SMEA, ranah sekolah ini
lebih berfokus pada pembelajaran Ekonomi saja. Berdasarkan peminatan siswa yang
menyukai ilmu-ilmu perdagangan. Kelima ada SKKA (Sekolah Kesejahteraan Keluarga
Atas), sekolah ini berbasis kepada
keluarga. Anak diharuskan mengenal keluarganya sejak menginjak keluarga,
menyambung hubungan antar keluarga, sekolah dan masyarakat, karena menyangkut
pembinaan keluarga, wanita, pria dan anak-anak. Keenam ada STM (Sekolah Teknik
Mesin), biasanya yang bersekolah disini mayoritas murid laki-laki dari pada
murid perempuan. Sekolah ini mengajarkan bagaimana cara kerja mesin, baik itu
mesin elektro maupun mesin otomotif. Ketujuh ada SPG (Sekolah Pendidikan Guru),
yang dimana murid yang bersekolah disini ialah yang bercita-cita ingin menjadi
guru. Kedelapan ada SMOA, kesembilan ada SPSA/STIK atau disebut juga dengan
Sekolah Pekerjaan Sosial atas) dan lain-lain. Pada jenjang sekolah akhir ini,
murid diperuntukkan untuk bersekolah selama 3 tahun dengan batasan usia 15-17
tahun.
Jenjang tertinggi dari sekolah-sekolah
diatas tadi, adalah Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi ini terbagi dalam 4
jenis perguruan. Perguruan tinggi berbasis Universitas, universitas negeri, universitas
swasta, maupun universitas yang berbasis ilmu agama islam (Univ Muhammadiyah).
Selain universitas, ada yang namanya Institut. Institut juga terbagi kedalam
dua jenis, Institus Negeri maupun Institut Swasta. Setelah itu ada perguruan
tinggi yang bernaa Sekolah Tinggi. Sekolah tinggi ini diperuntukkan untuk anak
yang memiliki kemampuan dibidang tertentu. Misalnya pariwisata, dan ilmu-ilmu
angkatan negara. Dan yang terakhir ada perguruan tinggi berbasis Akademik.
Akademik perguruan, perawatan, dll. Dalam jenjang perguruan tinggi ini, anak
diharapkan mampu berfikir kritis, dewasa, dan aktif. Sehingga menghasilkan
lulusan sarjana yang pintar dan bekerja keras. Perguruan tinggi ini berbeda
beda mengenai kelulusan nya untuk berapa tahun. Usia anak disini sudah
menginjak dewasa dari usia 17-20 tahun.
KESIMPULAN
Kurikulum adalah alat untuk mencapai
tujuan pendidikan dalam usaha mengembangkan dan meningkatkan pendidikan,
kurikulum pun mengalami perubahan, penyesuaian
dan perbaikan dalam jangka waktu tertentu. Kurikulum pendidikan rendah
biasanya ditubjukkan kepada anak dengan tujuan mempersiapkan agar anak
mengetahui dasar-dasar pengetahuan agar lebih siap menerima pengetahuan yang
mengarah lebih tinggi, serta diperuntukkan untuk mengembangkan minat dan bakat. Pedidikan menengah diperuntukkan
untuk meneruskan pendidikan ke yang lebih tinggi, dibekali dengan pendidikan
dasar atau pendidikan jenjang yang rendah meneruskan pelajaran kearah
pendidikan tinggi, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam untuk mempersiapkan
dilapangan kerjanya sesuai minat dan bakatnya masing-masing serta kebutuhan
masyarakat.
Pendidikan
tinggi ditujukkan untuk menyiapkan
pelajar agar menjadi pimpinan dan dapat memelihara kemajuan ilmu dan
kemajuan teknologi berdasarkan ilmu yang telah ia dapatkan sesuai jenjang
pendidikannya. Tentu pendidikan tinggi diharapkan pelajar akan menjadi tenaga
yang ahli dan terampil dibidangnya.
Indonesia pada tahun 1960 menggunakan
sistem politik demokrasi terpimpin yang dicetuskan oleh Soekarno, yang diawali
dengan dicetuskannya kembali UUD 1945, menggantikan UUDS 1950. Dengan
dikeluarkannya dekrit presiden maka kabinet sebelumnya yaitu Kabinet Djuanda
dibubarkan diganti dengan kabinet kerja
dan membentuk MPRS. Hasil
pemilihan umum 1955, DPR tetap menjalankan tugasnya dengan landasan UUD 1945
dan menyetujui segala perombakan yang di lakukan oleh pemerintah hingga
terbentuknya DPR baru yang pada tahun 1960 menjadi DPR-GR, yang tugasnya bahwa DPR-GR adalah
pembantu Presiden/Mandataris MPRS dan memberi sumbangan tenaga kepada Presiden
untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan oleh MPRS.
Pada pidato presiden Soekarno bertajuk penemuan
Revolusi kita menjadi ajang dijadikan garis-garis besar haluan negara, dan
dinamakan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Akan tetapi partai-partai seperti NU dan PNI
memiliki reaksi terhadap Manipol tersebut dan menuduh kabinet tersebut
bertindak sewenang-wenang. Hal ini
menyebabkan koalisi atau gabungan beberapa partai dan membentuk Liga yang
menuntut pembuatan DPR yang demokratis dan konstitusional.
Liga ini dilarang oleh Presiden Soekarno, dan
Soekarno membuat Front nasional untuk membuat
dan mengambil kebijaksanaan khusus serta darurat untuk menyelesaikan
revolusi. PKI pun turut andil dan menempatkan dirinya sebagai golongan yang
menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. PKI secara
sistematis berusaha memperoleh citra sebagai Pancasilais dan
mendukung ajaran-ajaran Presiden Sukarno yang menguntungkannya. TNI pun bertindak dengan melakukan pengawasan terhadap PKI, namun
Presiden Sukarno justru memerintahkan agar segala keputusan itu dicabut
kembali. TNI pun bertindak dengan melakukan pengawasan terhadap PKI, namun
Presiden Sukarno justru memerintahkan agar segala keputusan itu dicabut kembali.
Adanya gerakan G30 S/PKI ini membawa
dampak buruk khususnya kondisi ekonomi di Indonesia, yang membuat lunturnya
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, karena dianggap tidak membawa kondisi perekonomian kearah yang lebih baik.
Bahkan pada tahun 1965 indonesia mengalami krisis, negara mengalami
keterpurukan yang membuat rakyat sulit untuk mendapatkan kebutuhan pokok, dan
terjadinya inflasi besar-besaran membuat harga semua kebutuhan khususnya
kebutuhan pokok sangat tinggi. Inilah yang membuat masyarakat marah pada
pemerintahan orde lama saat itu. Kegagalan-kegagalan
dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak
menghemat pengeluaran-pengeluarannya yang diakibatkan sistem pemerintahan
Indonesia yang mengarah pada komunis.
Sejak
kegagalan tersebut terjadi Dasar
Pendidikan di Indonesia pada Periode ini tetap berlandaskan pancasila. Dasar
pendidikan ini tidak mengalami perubahan sejak tahun 1945 ketika bangsa
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Presiden membuat keputusan mengenai
nama dan rumusan pendidikan nasional, yaitu Tujuan pendidikan Nasional. tujuan
pendidikan yang berlandaskan pada Manipol-Usdek ini tidak bertahan lama. Dengan
meletusnya peristiwa G30 S/ PKI tahun 1965, tujuan pendidikan ini ditinggalkan.
Masyarakat Indonesia mulai sadar akan maksud-maksud politis PKI yang tercantum
dalam tujuan tersebut dengan menggunakan Pancasila sebagai perisai.
Realisme sosialis sebagai
doktrin komunis dibidang seni dan sastra diusahakan untuk menjadi doktrin di
Indonesia juga. Realisme sosialis sebagai doktrin komunis
dibidang seni dan sastra diusahakan untuk menjadi doktrin di Indonesia juga.
pelaksanaan doktrin tersebut lebih represif dari pada persuasive seperti adanya
larangan bagi pemusik-pemusik pop untuk memainkan lagu-lagu ala imperialis
barat. Peristiwa yang paling diingat oleh masyarakat pada bidang budaya adalah
heboh mengenaiManifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang
Indonesia (KKPI).
Manifes
Kebudayaan itu tidaklah baru atau luar biasa. Yang diungkap adalah
konsepsi humanisme universal yang timbul dalam masyarakat liberal
yang menekankan kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif. PKPI dengan
manifest kebudayaan untuk sama-sama dihancurkan. Serangan terhadap manifest
kebudayaan terus dilancarkan melalui tulisan yang semakin tajam
dalam Harian Rakyat, Bintang Timur dan Zaman Baruberhasilllah
PKI memukul manifest kebudayaan akan tetapi PKPI tidak dapat mereka hancurkan.
Benteng Pancasila tidak dapat ditaklukkan oleh PKI selain itu para sastrawan
Indonesia mendapatkan pelajaran berharga bahwa untuk menghadapi komunisme
diperlukan juga senjata berupa organisasi.
Partisipasi pada pendidikan swasta,
diwujudkan pada sekolah berbasis agama atau bercirikan agama, pendidikan
nasional antara lain diwujudkan melalui pendirian sekolah swasta yang
bercirikan keagamaan seperti Muhammadiyah Ma’arif, Kristen, dan Katolik, dan
bercirikan kebangsaan seperti Taman Siswa. Bentuk pendidikan swasta bukan hal
baru karena pada zaman kolonial, Belanda mengizinkan mendirikan sekolah-sekolah
swasta yang diselenggarakan oleh misi Katolik dan zending Protestan. seperti
agama islam yang mendirikan madrasah dan melalui muhammadiyah di sempurnakan melalui
pendidikannya, jika pelajaran agama diajarkan oleh kiyai, dan untuk pelajaran
umum diajarkan oleh guru pemerintahan yang bersedia mengajar, sedangkan untuk
umat kristiani membuat Majelis Pusat Pendidikan Kristen ( MPPK)
Kurikulum SMP dalam kurun waktu tidak
sampai 20 tahun dari tahun 1951-1958 Sekolah Menengah Pertama telang mengganti
kurikulum sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1962-1967 dan 1967 baru
dilaksanakan tahun1968. Untuk kurikulum SMP ini disesuaikan dengan
pancawardhana, dengan nama Kurikulum
Rencana pelajaran SMP Gaya Baru, Kurikulum ini mengalami perubahan penting
khususnya pada penambahan mata pelajaran ilmu administrasi dan kesejahteraan
keluarga. Pengelompokkan mata pelajaran terbagi menjadi empat, kelompok Dasar,
kelompok Cipta, kelompok Rasa/Karsa, Krida. dimasukkannya jam krida dengan
maksud memberikan kesempatan yang luas bagi para siswa untuk menemukan atau
memupuk bakat dan minat mereka masing-masing di bawah bimbingan yang teratur
dari guru, dan selanjutkan untuk mengembangkan karya yang berguna bagi siswa
kelak dalam kehidupan masyarakat.
Pada tahun1967 rencana Pelajaran SMP
Gaya Baru mengalami perubahan yaitu penyempurnaan kurikulum, dintaranya
mengubah nama rencana Pelajaran menjadi Rencana Pendidikan karena mengikuti
perkembangan dan pemerintahan Orde Baru. Dan pada tahun 1968 kurikulum Rencana
Pendidikan dilaksanakan dengan memiliki tiga program yang disempurnakan yaitu
Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila,
Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila,
kelompok ini berfungsi untuk membina dan mempertinggi moral Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, serta membina jasmani yang sehat dan kuat.
Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar, pemikiran kelompok mata pelajaran
ini ialah bahwa akal pikiran merupakan salah satu karunia Tuhan yang menempatkan
kedudukan manusia di atas makhluk lain di dunia. Dengan
sifat inilah maka manusia mampu mengetahui dan mengenal lingkungannya baik
mengenai bentuk, sifat, maupun hukum-hukumnya sehingga dapat memanfaatkannya
untuk mempertinggi kesejahteraan hidup. Dengan demikian semua pengetahuan dan
pengertian yang diperoleh dapat mendorong manusia untuk mengakui dan meyakini
adanya kekuatan yang mengatur hukum alam, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus, semua mata pelajaran yang
diberikan di atas tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling menunjang dan
melengkapi dalam mencapai tujuan pendidikan di SMP. dan Kelompok Pembinaan Kecakapan
Khusus; dasar pemikiran diadakannya kelompok mata pelajaran ini ialah bahwa di
SMP tidak cukup hanya diberikan pendidikan mental, spiritual, fisik, dan
kecerdasan saja, tetapi diperlukan juga pendidikan keterampilan yang praktis,
pendidikan emosional, dan pendidikan artisik serta sosial Mata pelajaran yang termasuk dalam
kelompok ini ialah Administrasi (memberikan keterampilan untuk menyelenggarakan
administrasi sederhana dalam kehidupan sehari-hari), Prakarya (memberi
kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan mengembangkan bakatnya
masing-masing), Pendidikan Kesenian (memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan bakat seni mereka, dengan harapan kesenian baik daerah maupun
nasional dapat dipupuk dan dilestarikan).
Untuk SMA Kurikulum SMA 1952 dilaksanakan mulai
tahun 1952 sampai tahun 1961, kurikulum 1961 dilaksanakan mulai tahun 1962
sampai 1964, kurikulum 1964 dilaksanakan mulai tahun 1965 sampai tahun 1968,
sedangkan kurikulum 1968 dilaksanakan mulai tahun 1969. Awalnya pada tahung
1951 kurikulum SMA hanya digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu Pertama, rumusan yang tepat
mengenai tujuan SMA ialah mengembangkan cita-cita hidup serta mengembangkan
kemampuan dan kesanggupan sebagai anggota masyarakat dan mendidik tenaga ahli
dalam perbagai lapangan sesuai dengan bakat dan minat masing-masing, Kedua, penggolongan mata pelajaran
di SMA dibagi menjadi empat kelompok yang berkaitan dengan lainnya, yaitu (1)
Kelompok dasar (enam mata pelajaran) yaitu mata pelajaran yang diperlukan bagi
seluruh siswa dalam rangka pembentukan warga negara: kewarganegaraan, agama,
bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi, dan pendidikan jasmani dan kesehatan; (2)
Kelompok khusus (tujuh mata pelajaran) yaitu mata pelajaran yang sesuai dengan
bakat siswa dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi; (3)
Kelompok penyerta (tiga mata pelajaran) yang dianggap perlu untuk memperluas
mata pelajaran kelompok khusus; dan (4) Kelompok prakarya dan krida; krida
adalah kegiatan bidang kebudayaan, kesenian, olahraga, dan permainan yang harus
diselenggarakan di setiap sekolah berdasarkan instruksi Menteri P dan K tahun
1961. Dirasa
kurang memperhatikan keterampilan siswa,
Kemudian
ditahun 1961 disempurnakan kembali menjadi nama Kurikulum SMA Gaya Baru,
penyempurnaan ini dikhususkan pada mata pelajaran yang lebih memperhatikan
Krida atau menunjukkan keterampilan siswa, yang ketiga kemudian
mengubah jurusan A, B, dan C menjadi ilmu sosial, Ilmu alam, dan Budaya .
Kurikulum
pendidikan menengah Kejuruan
secara intensif baru dilaksanakan antara tahun 1964 sampai 1968. Kurikulum
untuk sekolah kejuruan dinamakan Jurusan, Orientasi pengajaran lebih ditekankan
pada guru yang aktif dan siswa yang pasif, selain itu teori dan praktik
dilakukan secara terpisah. Di tahun 1969 direktorat jendral Kebudayaan
mengembangkan sekolah kebudayaan baik senirupa dan seni musik. Sekolah keguruan pada tahun 1961, mengalami
banyak perubahan khususnya dari pemberian nama dan lebih memperhatikan
penempatan pada lulusan dari sekolah keguruan tersebut dimana para lulusan
tersebut mengajar,
seperti lulusan
SGA dan lulusan SGPD pada tahun-tahun pertama ditempatkan untuk mengajar di
SMTP, sedangkan lulusan SGTK ditempatkan untuk mengajar di TK Negeri dan
Swasta, dan lulusan SGKP ditempatkan untuk mengajar di SKP. Karena dialihfungsikan dan diubahnya sekolah keguruan ini, maka hal ini
membuat sekolah keguruan tersebut mengeubah kurikulumnya.
INDEKS
1.
AD (Anggaran Dasar)
2.
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara)
3.
ART (Anggaran Rumah Tangga)
4.
BPS (Badan Pusat Statistik)
5.
CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif)
6.
CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia)
7.
CIA (Central Intelligent Agency)
8.
DPA (Dewan Pertimbangan Agung)
9.
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
10.
DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong)
11.
FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan)
12.
GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara)
13.
GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia)
14.
G30S-PKI (Gerakan 30 September-Partai
Komunis Indonesia)
15.
IMF (Dana Moneter Internasional)
16.
IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia)
17.
KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
18.
KKP (Kursus Karyawan Perusahaan)
19.
KKPA (Kursus Karyawan Perusahaan Tingkat
Atas)
20.
KKPI (Kebudayaan dan Konferensi Karyawan
Pengarang Indonesia)
21.
KOKAR (Konservatori Karawitan)
22.
KPA (Kursus Pendidikan Akhir)
23.
KPRI (Keputusan Presiden Republik
Indonesia)
24.
KSSR (Kurikukulm Standar Sekolah Rendah)
25.
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan)
26.
MANIPOL USDEK (Manifesto
Politik-Undang-undang Sadar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
dan Kepribadian Indonesia)
27.
MPPK (Majelis Pusat Pendidikan Kristen)
28.
MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara)
29.
NU (Nadhlatul Ulama)
30.
PKPI (Persatuan Karyawan Pengarang
Indonesia),
31.
PBH (Pemberantasan Buta Huruf)
32.
PBB (Persyerikatan Bangsa-Bangsa)
33.
PBR (Pemimpin Besar Revolusi)
34.
PD dan K (Pendidikan Dasar dan
Kebudayaan)
35.
PGA (Pendidikan Guru Agama)
36.
PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama)
37.
PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia)
38.
PKI (Partai Komunis Indonesia)
39.
PNI (Partai Nasional Indonesia)
40.
PRI (Partai Rakyat Indonesia)
41.
PSII (Partai Serikat Islam Indonesia)
42.
PTIP (Perguruan Tinggi dan ILmu
Pengetahuan)
43.
SD (Sekolah Dasar)
44.
SGA (Sekolah Guru A)
45.
SGB (Sekolah Guru B)
46.
SGO (Sekolah Guru Olahraga)
47.
SGPD (Sekolah Guru Pendidikan Djasmani)
48.
SGTK (Sekolah Guru Taman Kanak-kanak)
49.
SISKO (Standar Isi dan Standar
Kompetensi)
50.
SKKA (Sekolah Kesejahteraan Keluarga
Atas)
51.
SKKP (Sekolah Kejuruan dan Keterampilan
Pertama)
52.
SMA (Sekolah Menengah Atas)
53.
SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas)
54.
SMIND (Sekolah Musik Indonesia)
55.
SMP (Sekolah Menengah Pertama)
56.
SMTP (Sekolah Menengah Tingkat Pertama)
57.
SPG (Sekolah Pendidikan Guru)
58.
SSRI ( Sekolah Seni Rupa Indonesia)
59.
TAP (Ketetapan), MPRS (Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara)
60.
TK (Taman Kanak-Kanak)
61.
TKI (Tenaga Kerja Indonesia)
62.
TNI-AD (Tentara Nasional
Indonesia-Angkatan Darat)
63.
UU (Undang-Undang)
64.
UUD (Undang-undang Dasar)
65.
UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara)
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
·
Pengantar Sosiologi
Kurikulum. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011
·
Nasution. 2006. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta; PT
Bumi Aksara, h. 23
·
Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan
Indonesia. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1996
·
Dr. Hj. Esti Ismawati, M.Pd, Telaah
Kurikulum dan Pengembangan Bahan Ajar, 2012. Yogyakarta ; Ombak, h. 7
Internet
·
File://Final_Draft_Buku_Sejarah_Kurikulum_SMP.pdf
hal 70-75
·
http://www.relawanrumahbaca.com/berita-134-indonesia-belum-merdeka-dari-buta-huruf.html
[1] Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi Reguler, angkatan
2013.
[4] https://www.mail-archive.com/dosen-peneliti@yahoogroups.com/msg00621.html diakses pada 05 November 2015 pukul 21.15 wib
[5] Wilayah RI (Republik
Indonesia), MANIPOL USDEK (Manifesto Politik-Undang-undang Sadar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia), MPRS
(Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara)
[6]https://www.academia.edu/8777070/TUGAS_SEJARAH_PENDIDIKAN_MASA_ORDE_LAMA_DAN_ORDE_BARU diakses pada 05 November 2015 pukul 21.15 wib
[7]
Depaertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lima Puluh tahun
Perkembangan Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Indonesia, 1996) Hal. 109
[8]
MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), KPRI (Keputusan Presiden Republik
Indonesia), MANIPOL-USDEK (Manifesto Politik-Undang-undang Sadar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia)
[9]
Dr. Hj. Esti Ismawati, M.Pd, Telaah Kurikulum dan
Pengembangan Bahan Ajar, 2012. Yogyakarta ; Ombak, h. 7
[10] MANIPOL USDEK (Manifesto Politik-Undang-undang Sadar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia)
[12]
UUD (Undang-Undang Dasar), UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara), MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara), DPA (Dewan Pertimbangan Agung)
[14] https://www.academia.edu/8028759/LATAR_BELAKANG_LAHIRNYA_DEKRIT_PRESIDEN_5_JULI_1959 diakses pada 07 November 2015 pukul 16.20 wib
[15] https://www.academia.edu/8028759/LATAR_BELAKANG_LAHIRNYA_DEKRIT_PRESIDEN_5_JULI_1959 diakses pada 07 November 2015 pukul 16.20 wib
[16] MPRS (Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan
Pertimbangan Agung), Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR)
[17] Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), PBB (Persyerikatan Bangsa-Bangsa), NU (Nadhlatul Ulama), PNI
(Partai Nasional Indonesia), PRI (Partai Rakyat Indonesia), PSII (Partai
Serikat Islam Indonesia), IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia)
[18]http://www.gurupendidikan.net/2015/12/pengertian-dan-sejarah-sistem-masa-demokrasi-terpimpin-di-indonesia.html diakses pada 07 November 2015
[20] MPPR (Garis-garis Besar Haluan Negara), PBR (Pemimpin
Besar Revolusi), DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong), PKI (Partai Komunis Indonesia), TNI-AD (Tentara Nasional
Indonesia-Angkatan Darat), G30S-PKI (Gerakan 30 September-Partai Komunis
Indonesia), TKI (Tenaga Kerja Indonesia)
[21] IMF (Dana Moneter
Internasional), APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), PKI (Partai
Komunis Indonesia).
[24]
MANIPOL-USDEK (Manifesto Politik-Undang-Undang
Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpempin dan Kepribadian Indonesia)
[25]
Depaertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lima Puluh tahun
Perkembangan Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Indonesia, 1996) Hal. 109
[26] PGRI (Persatuan Guru
Republik Indonesia), PD dan K (Pendidikan Dasar dan Kebudayaan), PKI (Partai
Komunis Indonesia)
[28]CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia),
BPS (Badan Pusat Statistik), CIA (Central Intelligent Agency), KKPI (Kebudayaan
dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia), PKPI (Persatuan Karyawan
Pengarang Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia).
[29]http://belajar.smkn5bjm.sch.id/download/Kelompok%20A/Sejarah%20Indonesia%20/MODUL%20SEJARAH%20INDONESIA%20%20KELAS%20XII.docx diakses pada 18 Desember 2015 pukul 22.20 wib
[30] http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127327-RB01S31m-Manifes%20kebudayaan-Pendahuluan.pdf diakses pada 19 November 23.40
[31] PKI (Partai Komunis
Indonesia), KKPI (Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia), KSSR
(Kurikukulm Standar Sekolah Rendah), PTIP (Perguruan Tinggi dan ILmu
Pengetahuan)
[37] PGAP (Pendidikan Guru
Agama Pertama), PGA (Pendidikan Guru Agama), FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan), MPPK (Majelis Pusat Pendidikan Kristen), AD (Anggaran Dasar), ART
(Anggaran Rumah Tangga), SD (Sekolah Dasar)
Komentar
Posting Komentar