Langsung ke konten utama

KOMODIFIKASI TUBUH PEREMPUAN DALAM REALITY SHOW MUSIK DANGDUT (Kajian Pencitraan Perempuan dalam Program TV : DMD Show)

Rahayu Wilujeng
4815131270
Pendidikan Sosiologi A/2013
UAS Sosiologi Kebudayaan


KOMODIFIKASI TUBUH PEREMPUAN DALAM REALITY SHOW MUSIK DANGDUT
(Kajian Pencitraan Perempuan dalam Program TV : DMD Show)

Oleh : Rahayu Wilujeng
 


ewasa ini perkembangan musik dangdut di Indonesia dengan berbagai macam varian cukup menunjukan eksistensinya dengan baik. Menjamurnya program reality show bernuansa dangdut, menggambarkan bagaimana dangdut saat ini tengah merajai wajah pertelevisian Indonesia.
Dangdut memang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Indonesia, ini terlihat dari bagaimana musik dangdut mampu membius para pendengarnya dengan ritme musik yang sederhana. Meskipun dangdut pada awal keberadaannya dilabel sebagai musik “kampungan”, musik rakyat, dan musik kelas bawah, namun  dalam perkembangannya saat ini musik dangdut tampil sebagai wujud nasionalisme budaya. Musik dangdut adalah salah satu aliran musik yang merupakan wujud dari budaya populer saat ini. Budaya populer dibesarkan salah satunya oleh media massa, khususnya televisi.  Dengan semakin banyaknya penggemar dangdut (dangduters) di Indonesia, industri musik hiburan tidak ingin ketinggalan dalam menciptakan lahan kapitalisasi baru, terlihat dari bagaimana saat ini banyak program televisi bernuansakan dangdut pada setiap stasiun televisi di Indonesia. Namun, dibalik menjamurnya program tv bernuansakan dangdut tersebut, terkandung didalamnya berbagai macam bentuk komodifikasi yang hanya berorientasi pada kepentingan industri semata. Salah satu yang paling besar adalah bentuk komodifikasi tubuh perempuan dalam program televisi. Ironisnya, komodifikasi tubuh perempuan dalam media, khususnya musik dangdut telah membingkai wajah baru perempuan Indonesia dengan citra yang erotis. Seni musik dangdut lebih menonjolkan kelenturan tubuh daripada unsur substansial yang diperlukan seorang penyanyi atau biduan dangdut.  Dengan modal paras cantik dan goyang erotis, para penyanyi dangdut dapat berkecimpung dalam industri musik hiburan demi mencari keuntungan material.
Salah satu stasiun televisi yang banyak memproduksi program tv bernuansakan dangdut adalah MNC TV, misalnya saja pada program tv yang saat ini sedang digandrungi banyak masyarakat Indonesia yaitu Dangdut Mania Dadakan atau lebih dikenal dengan sebutan  DMD Show. Dangdut Mania Dadakan adalah sebuah program Reality Show untuk siapa saja yang gemar bernyanyi dan bergoyang dangdut untuk berkompetisi mendapatkan hadiah jutaan rupiah hanya dengan sekali tampil. Dalam setiap episodenya, Juri dan Host DMD Show memilih 10 penonton yang ada di studio secara acak untuk dijadikan peserta audisi. Umumnya peserta yang dipilih adalah perempuan.  Mereka dinilai dari segi vokal, koreografi atau goyangan dan kostum yang dikenakan peserta. Didalam reality show ini terkandung makna tentang komodifikasi tubuh perempuan yang dikemas dengan sedemikian rupa melalui bentuk penilaian tersebut.
Dalam budaya populer seperti dangdut ini, tidak akan terlepas dengan yang namanya perempuan. Keindahan yang dimiliki perempuan adalah hal yang banyak mendominasi dalam dunia musik, salah satunya adalah musik dangdut. Keberadaan perempuan telah menjadi simbol dalam setiap ajang komersial. Seperti halnya musik dangdut yang memborong perempuan untuk dijadikan penyanyi yang bertujuan untuk memuaskan penikmatnya dan penikmatnya mayoritas adalah laki-laki. Dalam industri musik Indonesia, eksploitasi tubuh pada musik dangdut memang jauh lebih besar dibanding genre yang lain. Menjamurnya goyangan seperti goyang dumang, goyang ngebor, goyang drible, goyang patah-patah, goyang itik dan lain sebagainya, menggambarkan betapa industri musik dangdut telah mengeksploitasi tubuh perempuan sebagai ajang komodifikasi.
Dalam konten acara DMD Show ini, terdapat konten acara berupa penilaian goyangan peserta. Setiap peserta diminta untuk mengikuti gerakan instruktur yang telah disediakan, kemudian diberikan penilaian dan komentar oleh juri.  Gerakan tersebut pun merepresentasikan bagaimana biduan dangdut perlu memiliki nilai jual yang tinggi dalam industri hiburan khususnya dalam hal goyangan.  Dengan kata lain, komodifikasi tubuh perempuan tengah berlangsung didalamnya. Peserta yang mengikuti audisi tersebut pun berlomba-lomba menampilkan goyangan yang paling “hot” demi menarik simpatisan juri dan penonton. Tidak jarang pula dibumbui dengan mimik wajah yang menggoda. Dalam kasus pertunjukan dangdut di DMD Show, goyang merupakan tanda penting sebagai ciri-ciri musik khas dangdut yakni berupa gerak tubuh  atau gestur. Sebagai sistem semiotik, gestur itu terdiri dari signifier yaitu visualisasi biduan yang sedang bergoyang pada layar televisi dan signified yaitu biduan yang sedang bergoyang di studio, dan sign yaitu kesatuan antara visualisasi dalam layar kaca dan realitas di lapangan
 Dengan adanya perempuan dalam musik dangdut telah menghadirkan goyangan sensual dengan menampakkan tubuh yang seksi dalam balutan pakaian yang sedikit terbuka. Pemandangan tersebut membuat penonton semakin tertarik dan memperoleh kepuasaan tersendiri khususnya bagi kaum laki-laki. Dalam reality show ini, kostum atau busana yang dikenakan peserta menjadi salah satu kriteria penilaian berikutnya. Desainer kondang yang menilai kostum tersebut meminta setiap peserta untuk menggunakan pakaian yang dianggapnya layak untuk tampil didepan panggung megah. Dalam hal ini, desainer tesebut seakan ingin menghilangkan kesan “norak” pada setiap kostum yang dikenakan peserta. Tidak jarang pula ia merombak busana dan penampilan peserta dengan  baju rancangannya sendiri. Namun tidak pula menghilangkan kesan seksi pada setiap penampilannya.
Dalam pagelaran musik dangdut dimana saja, tentunya tidak dapat terlepas pula dari tradisi “saweran”, yaitu membagikan uang kepada setiap biduan dangdut dengan tujuan agar sang biduan semakin semangat menampilkan goyangan vulgarnya. Begitu pula yang digambarkan dalam DMD show ini. Kaum laki-laki atau dalam hal ini adalah pembawa acara, rela membuang-buang uangnya demi memberikannya kepada setiap peserta yang dianggap menampilkan gerakan-gerakan yang bisa merangsang hawa nafsu laki-laki. Disini dapat dilihat bahwa perempuan hanya dijadikan objek pemuas laki-laki. Dan membuat status seorang perempuan berada dibawah laki-laki. Terlihat pula bahwa dangdut saat ini ditampilkan dengan simbol perempuan cantik sekaligus tubuh yang seksi, atau dalam artian simbol perempuan ideal (citra pigura) dan juga goyangan yang membuat penikmatnya merasa terhibur sehingga tampak begitu menikmati dari setiap alunan lagu dangdut dan goyangan penyanyi.
Musik  dangdut memang sarat dengan kesan erotis, baik secara audio maupun visual, misalnya suara mendesah yang diselipkan dalam setiap lagu yang dinyanyikan biduan dangdut. Sudah tentu audiens dangdut yang dipenuhi oleh kaum lelaki mendapatkan kenikmatan atas program goyang dangdut yang dikonsumsinya. Dalam konteks ini representasi yang tercermin adalah dimana perempuan hanya dijadikan objek seksual atau disebut dengan citra peraduan.
Representasi citra perempuan itu terlihat pula dari setiap lirik lagu dangdut yang dibawakan oleh biduan dangdut di DMD Show ini. Lirik lagu dangdut memang sarat dengan tema-tema kesedihan, harapan, percintaan, ratapan nasib, kekecewaan, kekesalan dan lain sebagainya. Dalam lirik lagu dangdut umumnya menyiratkan bahwa perempuan sebagai sosok yang lemah, pasrah dan termarjinalkan. Ditambah lagi menjamurnya lirik-lirik lagu  dangdut  yang   terlihat  semakin  berani  menampilkan kesensualannya .Seperti halnya lirik   lagu “Hamil duluan” oleh Tuti K Wibowo, “Satu jam saja” oleh Zaskia Gothik, “Belah duren” oleh Julia Perez, kemudian lagu berjudul "Apa aja Boleh" yang dinyanyikan oleh pedangdut Della Puspita, didalam lagu tersebut menggambarkan perilaku seks bebas di kalangan remaja dan kepasrahan seorang perempuan yang rela menyerahkan segalanya demi cintanya kepada sang calon pacar. Dan masih banyak lagi lagu dangdut yang sering dinyanyikan oleh biduan dangdut yang secara langsung merepresentasikan citra perempuan Indonesia. Citra Perempuan yang digambarkan dalam reality show ini tidak jarang pula diinternalisasikan oleh remaja khususnya perempuan pada era globalisasi saat ini.
Komodifikasi musik dangdut didalam reality show ini tidak hanya merepresentasikan Citra Pigura dan Citra Peraduan didalamnya, namun juga terdapat Representasi citra perempuan sebagai sosok yang kurang percaya diri dan pasrah akan segala perlakuan laki-laki yang disebut juga sebagai Citra pergaulan, dimana perempuan sebagai sosok yang kurang percaya diri dalam dunia sosialnya. Misalnya saja dalam lirik lagu berjudul “Pengabdian seorang wanita” oleh Elvy Sukaesih, lagu ini menggambarkan tentang kepasrahan seorang perempuan untuk dimadu oleh suaminya. Perempuan digambarkan dengan sosok yang penuh dengan rasa tidak percaya diri dan tidak berdaya akan kemampuan yang dimiliki. Citra Perempuan sebagai bentuk pengabdian oleh suami berkaitan pula dengan peran perempuan sebagai pilar dalam rumah tangga. Citra ini menggambarkan ketidakbebasan perempuan dalam ranah publik.  Dalam lirik lagu dangdut berjudul “Emansipasi Perempuan” oleh Raja dangdut Rhoma Irama pun Citra Pilar atau pencitraan perempuan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga sekaligus pencitraan bahwa perempuan sebagai sosok yang identik dengan mengatur rumah tangga (Citra Pinggan) tertera dengan jelas dalam petikan lagu tersebut Kalau perempuan juga sibuk bekerja, Rumah tangga kehilangan ratunya”. Dalam lirik lagu tersebut menggambarkan pula bagaimana perempuan dikekang oleh tugas utamanya sebagai ibu rumah tangga, yang digambarkan dalam petikan lagu berikut ini :
“Majulah perempuan giatlah bekerja, Namun jangan lupa tugasmu utama, Apa pun dirimu, Namun kau adalah ibu rumah tangga”
Di dalam wacana media hiburan, khususnya pada tayangan televisi, tubuh perempuan dikomodifikasi dengan berbagai cara di dalam sebuah ajang “permainan tanda”. Tubuh menjadi semacam teks, yaitu sebuah kumpulan tanda (sign) yang dikombinasikan lewat kode-kode semiotika. Dalam konteks ini, semiotika yang digambarkan adalah berupa sensualitas dan pornografi. Komodifikasi tubuh perempuan dalam program tv khususnya yang bernuansakan dangdut tentunya telah merepresentasikan citra perempuan Indonesia. Tidak menutup kemungkinan pencitraan perempuan dalam media akan diinternalisasikan oleh masyarakat secara umum dan celakalah jika komodifikasi tubuh perempuan dalam media lebih merepresentasikan Citra Pigura, Citra Peraduan dan Citra Pergaulan didalamnya. Alangkah suatu hal yang sangat adil bagi perempuan jika tubuhnya tidak dieksploitasi oleh kepentingan kapitalis semata. Selain membentuk citra yang buruk bagi perempuan, secara perlahan-lahan pencitraan perempuan yang dibentuk oleh media akan merusak generasi bangsa khususnya remaja di Indonesia. Alangkah baik pula jika penayangan program tv dengan unsur sensual ini dikelola dengan bijak agar tidak dikonsumsi secara masif oleh publik terutama anak-anak.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sosiologi Berparadigma Ganda

Rahayu Wilujeng Pendidikan Sosiologi A/ 2013 Paradigma dalam Sosiologi Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), paradigma diartikan sebagai model atau kerangka berpikir dalam ilmu pengetahuan [1] . Paradigma ini ditentukan dari dua aspek pendukung yakni perspektif intelektual dan perspektif sosial, kedua aspek inilah yang akhirnya membentuk kerangka atau model teoritis dalam kajian ilmiah. Suatu ilmu pengetahuan pada dasarnya selalu memiliki paradigma atau pandangan, namun paradigma tidak diartikan sebagai suatu teori ilmiah atau inti dari pokok pembahasan melainkan pandangan yang berisikan tentang teori-teori ilmiah tersebut. Paradigma bisa didefinisikan oleh suatu pencapaian ilmiah sebagai contoh atau sampel dimana sejumlah kesulitan ilmiah diatur dan dipecahkan dengan menggunakan pelbagai teknik konseptual dan empiris [2] . Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam satu cabang ilmu pengetahuan nampaknya dimungkinkan adanya beberapa paradigma. Paradigma in

Analisis kasus pembunuhan Angeline melalui teori Kontrol Sosial

1. Kasus Kejahatan : Pembunuhan  berencana Derita Terpendam di Balik 'Diam' Angeline [1] Oleh  Dyah Puspita Wisnuwardani on 22 Jun 2015 at 20:17 WIB Liputan6.com, Denpasar - Isak tangis dan emosi pecah dari para guru SDN 12 Kesiman, Sanur, Denpasar, Bali, ketika kantong berwarna oranye dikeluarkan oleh polisi dari sebuah rumah di Jalan Sedap Malam Nomor 26 Denpasar, Rabu 10 Juni 2015.  "Angeline...Angeline," panggil seorang guru wanita dan anak-anak dari sekolah itu sembari menangis sesenggukan menatap kantong jenazah yang membelah kerumunan warga. Di dalam kantong itulah tubuh mungil Angeline, bocah berusia delapan tahun yang sebelumnya dikabarkan hilang sejak Sabtu 16 Mei 2015, terbujur kaku. Tubuhnya kemudian diangkut ke dalam mobil ambulans untuk dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar, guna keperluan otopsi. "Kami menemukan ada kekerasan pada tubuh korban yang utamanya di daerah wajah dan leher berupa kekerasan tumpul," kat

Essay kreasi literasi di era digital

Restrukturisasi Masyarakat melalui pemanfaatan e-library Oleh : Rahayu Wilujeng Memasuki dekade kedua abad 21, everything is digital. Digitalisasi merambah ke setiap aspek kehidupan manusia, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga ke pengelolaan sebuah negara. Begitu juga dengan Indonesia, arus globalisasi menuntut Indonesia untuk berpartisipasi dalam euforia era digital ini. Sebagai negara berkembang, Indonesia diharapkan mampu memanfaatkan teknologi digital untuk mem-boost kemajuan Indonesia lebih dan lebih lagi, terutama dalam dunia pendidikan. Karena sebagai pondasi utama sebuah negara, pendidikan berada dalam posisi yang sangat sentral untuk menentukan masa depan bangsa. Mau dibawa kemana bangsa ini sangat ditentukan oleh bagaimana minat masyarakatnya terhadap baca-tulis. Literasi sebagai jantung pendidikan akan sangat penting dalam mendukung imajinasi dan kreativitas masyarakat. Oleh karena itu, literasi sangat berperan dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Peningk