Langsung ke konten utama

Pengaruh Agen Sosialisasi terhadap Fenomena Cabe-cabean



PENGARUH AGEN SOSIALISASI TERHADAP FENOMENA CABE-CABEAN DIKALANGAN REMAJA
Oleh Kelompok V

https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSEhNwR1VXyJKOB3ufiDWYbGC12V0YcqkF8fgEWGYRklw37HPhk

Cristian Perdana Putra
Ibnu Setyaji
Melisa Octaviani
Rahayu Wilujeng
Rita Putri
Tunjung Artia Dini
Velinda Dea








Pendidikan Sosiologi A 2013/Fakultas Ilmu Sosial

PENGARUH AGEN SOSIALISASI TERHADAP FENOMENA CABE-CABEAN DIKALANGAN REMAJA
Studi Kasus : Fenomena cabe-cabean di Daerah Kemayoran Jakarta Pusat

ABSTRAK
Analisis ini ingin menjelaskan bagaimana pengaruh Agen Sosialisasi terhadap fenomena cabe-cabean dikalangan remaja. Fenomena cabe-cabean ini disebut sebagai salah satu dari berbagai masalah sosial yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari semua sistem dimasyarakat. Fenomena ini merupakan fenomena kausalitas atau fenomena yang memiliki banyak sebab dan tentunya akibat yang ditimbulkan.

LATAR BELAKANG
Fenomena cabe-cabean yang tengah melanda di kalangan ABG (Anak Baru Gede) ini memang santer didengar  pada akhir tahun 2013 sampai tahun 2014 atau sampai pembuatan tulisan ini. Tidak ada yang tahu sebenarnya siapa yang mempelopori istilah ini, namun seperti dilansir Hai online, istilah cabe-cabean awalnya lebih banyak dikaitkan dengan perempuan muda dan motor balapan liar. Istilah ini biasa dipakai orang-orang yang ada di arena balapan liar untuk menyebut para gadis muda yang ada di situ.[1]Menurut penelitian yang di lakukan, cabe-cabean merupakan sebutan bagi perempuan berkisar antara usia 11-17 tahun yang sering keluar malam dengan tujuan menjadi bahan taruhan tepatnya di tempat balap liar dengan hal siapa yang menang dalam balapan tersebut dia lah yang dapat kencan dengan “si Cabe” .
ABG yang menjadi taruhan di arena balap banyak yang mengatakan jenis cabe-cabean di Jakarta dibagi menjadi 3 jenis yaitu “cabe ijo”, “cabe merah”, dan “cabe oranye”. Yang pertama “cabe ijo” memiliki kelas tertinggi diantara kelas cabe-cabean merupakan gadis dibawah Cabe ijo juga aktif dalam media sosial mereka memasang foto-foto dengan pose tertentu dan akun tarif di media sosial mereka, selanjutnya “cabe merah” adalah PSK yang umurnya diatas 16-19 tahun mereka sedikit lebih menonjol karena berani mengenakan pakaian mini dan menunjukkan lekuk tubuhnya. Mereka kerap menghabiskan waktu di tempat-tempat seperti mini market dan klub-klub malam.
Yang terakhir “cabe oranye” tipe cabe ini biasanya berkumpul di taman, arena parker liar, ataupun pinggir jalan pada beberapa kesempatan tipe cabe ini menggunakan modusnya untuk menarik pelanggan mulai dari mengamen sampai mereka ikut dengan pembalap liar.[2]

Perilaku cabe-cabean seakan melahirkan konsumtivisme. Konsumtivisme adalah sesuatu yang lahir dari pemikiran seorang individu yang mementingkan diri sendiri.  “Cabe-cabean” mempercantik diri dengan cara apapun demi diri sendiri yang ingin terlihat berbeda dan mempertahankan eksistensi dalam kelompok.  konsumtivisme  adalah mereka yang selalu merasa kurang terhadap apa yang mereka punya dan tidak peduli  terhadap kebutuhan orang lain. Konsumtivisme  lahir dari pemikiran pementingan diri sendiri dan dipengaruhi oleh materialism. Budaya Konsutivisme pada masyarakat Indonesia juga berdampak pada pemaksaan individu mempertahankan eksistensi di masyarakat, hasrat untuk bereksistensi inilah yang terkadang menghalalkan segala cara demi tercapainya keinginan tersebut.
Dalam perkembangannya teknologi juga menghendaki adanya faktor imitasi pada “cabe-cabean”, faktor lingkungan juga yang mendukung proses terbentuknya juggernaut[3] yang bersifat cenderung konsumtif. Fenomena ini juga berimbas pada gaya hidup yang bisa dikatakan anomali pada gaya hidup masyarakat Indonesia pada umumnya jika dilihat dari gaya hidup pemuda Indonesia sebelum teknologi berkembang pesat, seiring berkembangnya teknologi masyarakat Indonesia pun juga bersifat mudah menerima hal dari luar.

PEMBAHASAN

Sebutan cabe-cabean tidak asing lagi dalam kalangan masyarakat, cabe-cabean ini dapat pula disebut profesi yang terbentuk karena pergaulan bebas khususnya perempuan dibawah umur yang bisa dikatakan telah mengenal bisnis prostitusi khususnya ditempat balap liar. Tak terelakan fenomena cabe-cabean ini merupakan dampak dari tidak berfungsinya atau penyimpangan fungsi (disfungsi) oleh agen-agen sosialisasi yang berperan sebagai agen untuk proses sosialisasi.Malinowski memandang bahwa setiap aspek dalam kehidupan masyarakat itu,satu sama lain saling berhubungan dan menjadi penggerak bagi perkembangan masyarakat dan kebudayaannya,dalam rangka berbagai pemenuhan kebutuhan kelompok dan individu yang ada dimayarakat.[4] Agen agen sosialisasi itu antara lain :

Keluarga
Dalam hal ini keluarga merupakan peran utama dalam tumbuh kembang anak-anak remaja. Cabe cabean timbul dari faktor kurangnya kasih saying dan faktor ekonomi keluarga yang kurang, artinya seorang menjadi cabe-cabean karena faktor keingin membeli sesuatu yang tidak dapat ia beli. keluarga juga menjadi peran utama dalam seorang remaja dalam bergaul, karena lingkungan diluar keluarga menjadi salah satu pemicu seorang remaja menjadi cabe-cabean. Cabe-cabean timbul karena adanya dorongan dari dalam hati karena kurangnya tanggung jawab dan perhatian keluarganya serta peran orang tua yang kurang dalam tumbuh kembang anak remaja. dalam konteks ini cabe-cabean bukanlah remaja yang selalu di salahkan karena keluarga juga turut andil dalam hal ini, anak remaja yang menjadi cabe-cabean karena ingin membeli hal-hal yang orang tuanya tidak sanggup membelikan , hampir semua berhubungan dengan materi remaja yang kurang dalam materi atau ekonomi namun juga kurang pengawasan dari orang tua sehingga ia bisa bebas pergi di malam hari tanpa sepengetahuan orang tuanya.Misalnya seorang menjadi cabe-cabean karena ia ingin membeli hp baru, baju baru, dll karena orang tuanya tidak sanggup membelikannya. sedangkan ia juga berpacaran dengan orang yang sering disebut "joki balap motor" dalam adu balap motor, hal ini sangat berpengaruh. Pandangan bahwa cabe-cabean adalah seorang anak remaja yang gaul dan mampu membeli apa yang mereka inginkan, selalu ada didalam benak mereka. Kurangnya penanaman agama yang dilakukan orang tua sewaktu anak tumbuh menjadi remaja juga berpengaruh kepada tumbuh kembang anak tersebut. maka kurangnya ketakutan kepada Tuhan menjadikan ia seperti itu. Wimpie berpendapat, selain tidak adanya pendidikan seks yang benar ada beberapa  faktor lainnya yang mempengaruhi fenomena remaja yang menjajakan seks. Pertama minimnya perhatian dari orang tua, orang tua tidak tahu apa yang dilakukan anaknya diluar rumah, tidak dekat dengan anaknya.

Lingkungan atau teman sebaya
Pengaruh faktor lingkungan, khususnya teman sebaya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku seseorang termasuk untuk melakukan hal-hal yang negatif . Kelompok sebaya mempunyai peran penting dalam penyesuaian diri remaja, dan persiapan bagi kehidupan di masa mendatang, Berperan pula terhadap pandangan dan perilakunya. Kelompok teman sebaya juga berperan pada saat remaja mengahadapi konflik antara ingin bebas dan mandiri serta ingin merasa aman, pengganti yang hilang dan dorongan kepada rasa bebas yang dirindukannya. Dalam hal ini apabila kelompok teman sebaya memotivasi untuk melakukan hal-hal tertentu dengan mudah mendoktrin para anggotanya untuk melakukan suatu hal tersebut.Fenomene immoral ini biasanya didorong oleh pemanjaan diri dan kompensasi terhadap labilitas kejiwaan,karena anak-anak gadis itu tidak merasa senang dan puas atas kondisi dirinya sendiri atau lingkungannya.[5]





 Sekolah atau Lembaga Pendidikan
JAKARTA, KOMPAS.com — Orangtua dan para pendidik di sekolah memiliki peran penting dalam mencegah merebaknya "cabe-cabean", sebuah fenomena di mana para pelajar SMP dan/atau SMA mulai menjajakan dirinya.

Orang tua maupun pendidik perlu memberikan pendidikan agama, moral, dan budi pekerti kepada mereka. Demikian disampaikan Eni, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMAN 13 Jakarta Utara, dan Tinah, seorang orangtua siswa, Rabu (2/4/2014). Eni mengatakan, pihak sekolah terus melakukan kerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional untuk memberikan pengetahuan seputar reproduksi sehat. Para peserta didik juga diberikan informasi seputar risiko dari aktivitas seksual di luar nikah. Di sisi lain, kata Eni, sekolah telah membuat aturan yang jelas terkait perilaku siswa. Bagi para pelanggar, sekolah memberikan sanksi tegas sesuai dengan pelanggarannya. "Bagi yang terbukti, mereka harus mengundurkan diri," kata Eni. Sementara itu, Tinah mengatakan, ia selalu mengingatkan putrinya untuk berhati-hati memilih teman bergaul. Ia mengaku selalu mengawasi kegiatan anaknya. Pasalnya, lingkungan pertemanan turut membentuk perilaku dan sikap anak. Tinah mengatakan, para orangtua tidak seharusnya hanya mengandalkan para guru dalam mendidik para siswa. Pasalnya, mereka hanya menghabiskan sebagian waktu di sekolah. Sebagian lainnya dihabiskan di luar lingkungan sekolah. Ia juga mengaku selalu memonitor aktivitas anaknya di jejaring sosial.[6]
Dalam hal ini sekolah sebagai lembaga pendidikan berperan untuk memberikan nilai-nilai dan norma yang ada dimasyarakat mengimplementasikannya secara praksis berupa pendidikan moral dan karakter peserta didik.


Media massa
Di zaman Globalisasi ini media massa merupakan hal yang sangat mempengarui gaya hidup remaja,dengan melalui media massa yang memberikan informasi yang sangat luas dan informasi terbaru, rasa keingin tahuan para remaja yang sangat tinggi sehingga media massa dijadikan informan yang sangat baik bagi para remaja. Semua hal yang terjadi dalam negeri maupun dunia dapat kita akses dengan mudah dan cepat melalui situs-situs yang dengan mudah kita akses melalui internet. Kegiatan remaja yang lebih banyak menghabiskan waktunya di depan televisi sehingga media televisi yang dapat memberi informasi tentang fenomena yang terupdate tak terkecuali fenomena cabe-cabean tersebut. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu.
Gambar (visual) dan suara (audio) yang ada pada televisi mampu mempersuasi
khalayak untuk menirukan apa yang ditampilkan di layar televisi.[7] Para remaja memang cenderung selalu mengikuti cara berpakaian para artis idola mereka dan mereka melihat dari televisi.

Pandangan Materialisme Marx
Marxisme dimulai dengan ide bahwa materi adalah esensi dari semua realitas, dan bahwa materi membentuk akal, dan bukan sebaliknya. Dalam teorinya, Marx mengatakan bahwa matrealisme adalah cara berpikir tentang atau memandang yang melihat masyarakat berbasis pada benda/ material. Artinya dalam matrealisme materi dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting.Keadaan sosial menyangkut produksi masyarakat, pekerjaan masyarakat. Manusia ditentukan oleh produksi mereka: apa yang mereka produksi dan cara mereka berproduksi. Pandangan ini disebut materialis.
Dalam pandangan materialisme Marx sesungguhnya yang mengubah masyarakat dari waktu ke waktu adalah materi.[8] realita sosial yang merupakan menjadi faktor pembentuk kesadaran dari individu. Marx menjelaskan bahwa keadaan yang terjadi pada realitas sosial tidak dipengaruhi oleh gagasan yang berasal dari diri individu, melainkan dari hal-hal nyata yang dapat dilihat dan diamati oleh individu[9]. Dalam kasus yang terjadi pada fenomena “cabe-cabean” dimana faktor nurture[10] lah yang mendasari tindakan mereka dalam menjalani gaya hidup. Dengan berkembangnya teknologi yang memudahkan dalam mengakses informasi yang berasal dari manapun, maka tidaklah terelakan lagi perubahan pandangan kearah western yang dijadikan mode gaya hidup. Perubahan yang terjadi pada anak muda yang cenderung menjadi makhluk cosmo[11] yang beorientasikan pada budaya yang bukan pada budaya asli yang dimiliki olehnya.
Teori matrealisme Karl Max yang  dikenal sebagai historical Matrealism yang mengatakan bahwa perilaku manusia di tentukan oleh kedudukan materinya, di gunakan untuk mengembangkan sistem organisasi. Dalam materialisme sejarah menurut Marx, tampak sejarah ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi. Faktor-faktor ekonomi seperti memainkan peran tunggal dalam perkembangan sejarah manusia. Hal yang dapat menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan kebebasan manusia dalam sejarah manusia? Bukankah kebebasan manusia juga memainkan peranan penting dalam sejarah manusia?
Begitu pula dengan kesadaran dan cita-cita manusia ditentukan oleh keadaannya dalam masyarakat dalam hal ini kedudukannya dalam kelas sosial.
Dalam fenomena yang mendasar berdasarkan terbentuknya manusia cosmo, memberikan gambaran dimana pada remaja Indonesia tidak memiliki kepribadian bangsa yang kuat dalam membangun rasa cinta terhadap budaya bangsa. Seakan terlena akan gemerlap modernitas pada westernisasi, dimana disetiap sisi kehidupan cenderung lebih membanggakan hal yang berbau “barat” dan merasa kuno bila menerapkan budaya lokal yang dimiliki sejak dulu. Krisis identitas, juga mempengaruhi pola pikir dari “cabe-cabean” diaman mereka juga tidak lagi memikirkan apa yang akan di dapatkannya pada aktifitas keluyuran pada malam hari dengan pakaian minim, berboncengan dengan rangkap tiga dalam satu motor, hingga bergaul dalam aktifitas balap liar, dan menjurus kearah pergaulan bebas yang merupakan mabuk-mabukan, malakukan seks bebas, hingga membuat keonaran menjadi lumrah untuk dilakukan.
Dalam pandangan materialisme Marx realita sosial yang merupakan menjadi faktor pembentuk kesadaran dari individu. Marx menjelaskan bahwa keadaan yang terjadi pada realitas sosial tidak dipengaruhi oleh gagasan yang berasal dari diri individu, melainkan dari hal-hal nyata yang dapat dilihat dan diamati oleh individu[12]. Apa yang kita pikirkan dan bagaimana kita melihat dunia ini secara keseluruhan ditentukan oleh kondisi fisik dan realitas sosial dimana kita hidup.[13]
Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka”

KESIMPULAN
Fenomena cabe-cabean adalah salah satu fenomena yang sudah tidak asing lagi kita dengar dizaman sekarang ini. Cabe – cabean adalah wanita yang bekerja untuk memperoleh uang  dengan  memiliki banyak tujuan. Tidak ada yang tahu sebenarnya siapa yang mempelopori istilah ini, namun seperti dilansir Hai online, istilah cabe-cabean awalnya lebih banyak dikaitkan dengan perempuan muda dan motor balapan liar. Istilah ini biasa dipakai orang-orang yang ada di arena balapan liar untuk menyebut para gadis muda yang ada disana sebagai bahan taruhan balapan liar tersebut.Fenomena sosial ini tidak terlepas oleh karena menurunnya moral pada generasi muda di Indonesia, dan budaya konsumtivisme yang sesungguhnya meruntuhkan nilai-nilai luhur di Indonesia.
Sebutan cabe-cabean merupakan Sebutan untuk masalah sosial yang baru dikalangan remaja. Sebelum sebutan cabe yang menurut penelitian merupakan singkatan dari Cewek Alay Bahan “Ehem” ini adalah sebutan untuk perempuan yang sama yaitu Kimcil atau bahan taruhan ditempat balap liar. Perlu disadari bahwa fenomena ini merupakan mata rantai dari sistem yang ada. Agen-agen sosial yang tidak melakukan fungsi sebagai mana mestinya (disfungsi) ditengarai merupakan penyebab dari fenomena pergaulan bebas dan mengaburnya nilai dan norma pada masyarakat (juggernaut). Agen-agen sosial itu adalah keluarga, lingkungan atau teman sebaya, lembaga pendidikan juga media masa yang turut memiliki andil dalam maraknya fenomena sosial ini.
Fenomena cabe-cabean ini relevan apabila dianalisis melalui teori Karl Marx tentang Materialisme atau paham yang menganggap bahwa sesuatu yang berbentuk benda (material) adalah penting. Marx menjelaskan bahwa keadaan yang terjadi pada realitas sosial tidak terpengaruh oleh gagasan yang berasal dari individu, melainkan dari hal-hal nyata yang dapat dilihat dan diamati oleh individu tersebut.
Pentingnya Pendidikan moral dan Pendidikan karakter seharusnya menjadi tanggung jawab dari berbagai pihak yaitu keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah. Menanamkan nilai pendidikan moral dapat dimulai dari lingkungan keluarga karena merupakan tempat pijakan awal anak belajar membentuk karakter moral dan keluarga sebagai fasilitator.










DAFTAR PUSTAKA
Buku
·         Nasrullah Nazir, Teori-teori Sosiologi (Bandung:Tim Widya Padjajaran,2008)
·         Dr.Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: Rajawali Pers,2009)
·         Salim,Perubahan Sosial (Yogyakarta:PT Tiara Wacana,2002)
·         Marx, Karl.   On Society and Social Change. Chicago: The University of Chicago Press.1973
·         Watkins, Susan Alice, Marice Rueda dan Marta Rodridguez, Marxisme Untuk Pemula (Yoyakarta:Resis book,2008)

Jurnal                                        

Skripsi
·         Maria Ulfah Hanafi, Hubungan terpaan Sinetron remaja dengan sikap remaja terhadap pergaulan bebas Remaja di Surabaya (Surabaya Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”,2011)


[3] Giddens menjelaskan bahwa Juggernaut bagaikan “dunia yang terus berputar” dengan besarnya peningkatan percepatan, cakupan, dan besarnya perubahan dari sistem-sistem yang mendahuluinya. (Ritzer:Theory of Sociology)
[4] Nasrullah Nazir, Teori-teori Sosiologi (Bandung:Tim Widya Padjajaran,2008),h. 49.
[5] Dr.Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: Rajawali Pers,2009),h. 227.
[7] Maria Ulfah Hanafi, Hubungan terpaan Sinetron remaja dengan sikap remaja terhadap pergaulan bebas Remaja di Surabaya (Surabaya Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”,2011),h. 4.
[8] Salim,Perubahan Sosial (Yogyakarta:PT Tiara Wacana,2002), h.29.
[9] Marx, Karl.   On Society and Social Change. Chicago: The University of Chicago Press.1973
[10] Nurture adalah dimana kepribadian individu yang dipengaruhi cenderung berdasarkan faktor lingkungan individu tersebut.
[11] Cosmo merupakan keadaan dimana manusia mengalihkan segala kehipupannya pada teknologi, dan mengubah sosialisasinya pada sosial media.
[12] Marx, Karl.   On Society and Social Change. Chicago: The University of Chicago Press.1973
[13] Watkins, Susan Alice, Marice Rueda dan Marta Rodridguez, Marxisme Untuk Pemula (Yoyakarta:Resis book,2008), h.30 .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sosiologi Berparadigma Ganda

Rahayu Wilujeng Pendidikan Sosiologi A/ 2013 Paradigma dalam Sosiologi Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), paradigma diartikan sebagai model atau kerangka berpikir dalam ilmu pengetahuan [1] . Paradigma ini ditentukan dari dua aspek pendukung yakni perspektif intelektual dan perspektif sosial, kedua aspek inilah yang akhirnya membentuk kerangka atau model teoritis dalam kajian ilmiah. Suatu ilmu pengetahuan pada dasarnya selalu memiliki paradigma atau pandangan, namun paradigma tidak diartikan sebagai suatu teori ilmiah atau inti dari pokok pembahasan melainkan pandangan yang berisikan tentang teori-teori ilmiah tersebut. Paradigma bisa didefinisikan oleh suatu pencapaian ilmiah sebagai contoh atau sampel dimana sejumlah kesulitan ilmiah diatur dan dipecahkan dengan menggunakan pelbagai teknik konseptual dan empiris [2] . Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam satu cabang ilmu pengetahuan nampaknya dimungkinkan adanya beberapa paradigma. Paradigma in

Analisis kasus pembunuhan Angeline melalui teori Kontrol Sosial

1. Kasus Kejahatan : Pembunuhan  berencana Derita Terpendam di Balik 'Diam' Angeline [1] Oleh  Dyah Puspita Wisnuwardani on 22 Jun 2015 at 20:17 WIB Liputan6.com, Denpasar - Isak tangis dan emosi pecah dari para guru SDN 12 Kesiman, Sanur, Denpasar, Bali, ketika kantong berwarna oranye dikeluarkan oleh polisi dari sebuah rumah di Jalan Sedap Malam Nomor 26 Denpasar, Rabu 10 Juni 2015.  "Angeline...Angeline," panggil seorang guru wanita dan anak-anak dari sekolah itu sembari menangis sesenggukan menatap kantong jenazah yang membelah kerumunan warga. Di dalam kantong itulah tubuh mungil Angeline, bocah berusia delapan tahun yang sebelumnya dikabarkan hilang sejak Sabtu 16 Mei 2015, terbujur kaku. Tubuhnya kemudian diangkut ke dalam mobil ambulans untuk dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar, guna keperluan otopsi. "Kami menemukan ada kekerasan pada tubuh korban yang utamanya di daerah wajah dan leher berupa kekerasan tumpul," kat

Essay kreasi literasi di era digital

Restrukturisasi Masyarakat melalui pemanfaatan e-library Oleh : Rahayu Wilujeng Memasuki dekade kedua abad 21, everything is digital. Digitalisasi merambah ke setiap aspek kehidupan manusia, mulai dari kehidupan sehari-hari hingga ke pengelolaan sebuah negara. Begitu juga dengan Indonesia, arus globalisasi menuntut Indonesia untuk berpartisipasi dalam euforia era digital ini. Sebagai negara berkembang, Indonesia diharapkan mampu memanfaatkan teknologi digital untuk mem-boost kemajuan Indonesia lebih dan lebih lagi, terutama dalam dunia pendidikan. Karena sebagai pondasi utama sebuah negara, pendidikan berada dalam posisi yang sangat sentral untuk menentukan masa depan bangsa. Mau dibawa kemana bangsa ini sangat ditentukan oleh bagaimana minat masyarakatnya terhadap baca-tulis. Literasi sebagai jantung pendidikan akan sangat penting dalam mendukung imajinasi dan kreativitas masyarakat. Oleh karena itu, literasi sangat berperan dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Peningk